Sebagai anak sekolahan di zaman orde baru, peristiwa G30S di bulan September 1965 itu adalah cerita berdarah yang mengerikan. Apalagi di museumnya melihat diorama dan benda-benda tajam saat para jenderal itu dieksekusi. Horor abis pokoknya.
Museum-museum di daerah lain seperti Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, kurang lebih hampir sama menempati bangunan peninggalan Belanda. Kecuali di beberapa tempat seperti museum kekinian di Malang yang memang ditujukan khusus untuk wisata.
Selain museum kelolaan pemerintah ada juga museum yang dimiliki oleh kerajaan nusantara. Museum Mangkunegaran Solo, Museum Kesultanan Jogjakarta, tapi yang paling membagongkan buat saya adalah museum di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Museumnya berada dalam kawasan keraton tak jauh dari masjid legendaris peninggalan Sunan Gunung Jati sebagai sultan pertama di kesultanan tersebut.
Saat memasuki ruangan dimana dipajang kereta-kereta kencana kerajaan ada satu lukisan besar bergambar Prabu Siliwangi dengan seekor harimau di sebelahnya. Prabu Siliwangi tampak gagah dengan atribut kerajaannya.
Yang bikin merinding adalah saat Prabu Siliwangi di lukisan itu matanya melirik ke arah saya. Iya, mata sosok Sang Prabu dalam lukisan yang tergantung di dinding museum itu bergerak. Bukan cuma kaget tapi juga ingin langsung ngibrit ketakutan.
Untungnya saya datang bersama rombongan keluarga dan semua tampak baik-baik saja. Entah saya yang sedang halusinasi atau memang demikian adanya.
Lalu apa hubungannya Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang Islam dengan Prabu Siliwangi yang notabene adalah raja kerajaan Pajajaran yang Hindu?
Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan terbesar di tanah Sunda saat itu dan Prabu Siliwangi adalah raja yang sangat terkenal dan diperhitungkan di kerajaan seantero nusantara.
Dua anak dari beberapa anak Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang pernah belajar ke daerah Gunung Jati Cirebon, mereka tertarik belajar dan kemudian masuk Islam.
Pangeran Cakrabuana dan Nyi Rara Santang yang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana Nyi Rara Santang menikah dengan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam seorang bangsawan Mesir.