Apa yang ada di benak Anda ketika berbicara tentang pelawak?Â
Lucu. Tukang bikin ketawa. Aneh. Artis. Terkenal.Â
Mungkin itu jawaban yang terlontar dari banyak orang. Padahal ada satu hal yang juga penting bahwa pelawak itu butuh kecerdasan tersendiri.
Iya, melawak adalah salah satu pekerjaan yang menggunakan kecerdasan. Bukan harus jago matematika atau fisika tentu saja. Hanya orang cerdas yang mampu menghasilkan lawakan yang lucu dari segala aspek hingga membuat orang lain tertawa.
Lucu yang bukan sembarang lucu. Lucu yang bukan hanya sekadar hiburan semata. Membuat orang tertawa saja itu baru modal dasar. Syarat yang lebih penting lagi menurut saya adalah konten alias isi dari lawakan.Â
Lawakan "bully" model dorong-dorongan, main fisik, atau kekerasan lainnya jelas bukan termasuk lawakan cerdas versi saya. Berarti pelawak model begini juga bukan pelawak favorit saya.
Tentu susah-susah gampang karena bila melihat akarnya, lawak di tanah air tentu tidak lepas dari seni tradisi panggung di berbagai daerah. Sedangkan tradisi lawak panggung cukup akrab dengan lawak model "bully" begini.Â
Di Betawi punya lenong yang isinya sandiwara panggung dengan diselingi lawakan-lawakan dari pemainnya. Begitu juga di daerah lain seperti panggung Srimulat di Jawa Tengah, Ludruk di Jawa Timur, Tarling di Cirebon, Sandiwara Sunda model Kabayan dan sebagainya.
Tapi zaman itu belum ada kesadaran bersama tentang tontonan atau hiburan yang mengandung "bully" selain disajikan terbatas di panggung-panggung saja. Selain batasan bully sendiri yang masih abu-abu alias tidak jelas.
Bila dilihat panggung sandiwara atau bagian lawakannya masih "mengandung" bully mungkin zaman itu masih diterima atau dianggap wajar toh cuma sebatas hiburan.Â