Begitulah seterusnya, dia bertanya dan saya menjawab dengan pertanyaan baru, sampai-sampai dia bosan. Lalu, akhirnya dia bertanya sekali lagi. Apa pandanganmu tentang doa, surga dan Tuhan. Dengan enteng saya jawab. Semuanya serba spekulasi. Dengan jawaban itu, kini dia sungguh marah, dan nyaris menjotos dahiku.
Dengan suara agak keras dia bertanya, spekulasi macam apa yang dikau maksudkan?
Jawabku, spekulasi bahwa surga itu ada. Demi spekulasi itu saya dan kamu berdoa dengan cara agak berbeda menyembah Tuhan. Tetapi perbedaan cara itu tidak perlu dikau usik.
Jika saya percaya surga itu ada, maka itu tak sedikit pun mengurangi caraku untuk berbaik hati kepadamu. Jika cara saya berbeda dengan caramu, tidak boleh sedikit pun mengurangi persahabatan di antara kita. Persahabatan kita peertama-tama bukan lantara karena cara kita berdoa dan menyembah Allah secara berbeda, melainkan karena saya memang bersahabat denganmu tanpa ada pertanyaan itu.Â
Begitu pun kamu atasku, tak harus usik dan usil atas caraku, jika spekulasimu diduga lebih membuat kamu nyaman. Karena itu, bagiku, relasiku dengan Tuhan ditampakkan melalui caraku berelasi denganmu, meski cara kita masing-masing mencari dan menemukan Tuhan berbeda. Dia tersenyum.
Lalu, saya berkisah sedikit tentang para pendahulu yang memberi pelajaran hidup dan ajaran tentang sesuatu di sana.
Kataku, bagi Luther, Deus absconditus est Deus revelatus (Tuhan yang tersembunyi adalah Tuhan yang mewahyukan diriNya), sedangkan bagi Calvin, Tuhan yang diwahyukan tetaplah Tuhan yang tersembunyi, karena rencana dan penyelenggaraanNya tetap jadi misteri yang tak terselami.
Bagi kita, di sini, tak boleh behenti berpikir dan membaca tanda-tanda zaman, karena berhenti membaca tanda-tanda zaman artinya berhenti melanjutkan kehidupan. Sebab saya percaya Tuhan menolong kita tanpa perlu keterlibatan kita. Tuhan mencintai kita tanpa harus melibatkan kita. Tetapi sesama kita yang sedang mengembara di padang kehidupan ini, untuk selalu mencari sunyi agar sanggup mendengar betapa riuhnya suara sepi. Â
Kita cukup menjalani hidup ini dengan tetap setia membagi kebahagiaan kita. Barangsiapa yang membagikan kebahagian akan menjadi lebih dan barangsiapa yang membagikan kepedihannya akan berkuranglah kepedihannya. Begitulah.
Dia memandang saya dengan penuh damai dan tampak dari bola matanya, keteduhan itu begitu indah. Persahabatan kami terus berjalan hingga kini, meski kami berdoa dengan  beda cara. Kami sama laki-laki tetapi meski sama laki-laki, tetap kami berbeda. Karena kami uniq adanya. Remember there has no one like you in the world. You are unique.
Pada akhirnya dia bertanya lagi, berapa kalikah dikau berdoa sehari? Jawab saya: Saat saya kini sedang berbicara denganmu saya sedang berdoa.