Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memilih Pemimpin Memantulkan Mutu Moral Pemilih

3 Februari 2019   12:33 Diperbarui: 3 Februari 2019   13:25 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh Pius Rengka

Ada dua asas penting dalam etika, termasuk etika politik. Dua asas penting itu sebaiknya ditampakkan siapa pun dalam proses politik. Terutama bagi para calon pemimpin (Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden). Kedua asas itu masing-masing:

1. Primum non nocere. Artinya pertama-tama jangan merugikan orang lain. Calon pemimpin tidak boleh gemar bersikap merugikan orang lain. Karena itu, menipu orang itu pastilah bukan politik. Para calon pemimpin itu wajib bersikap jujur karena jujur itu fungsional dalam pengelolaan kepentingan umum. Pemimpin harus memiliki kejujuran karena hanya dengan demikian dia sanggup menyelesaikan semua hal buruk atas bangsanya, rakyatnya dan terutama lingkungan dirinya sendiri. Pemimpin yang jujur secara a priori tidak sedikit pun berniat merugikan rakyatnya. Ajakan ini memang agak spekulatif, karena banyak pemimpin  jujur, tetapi  sedikit yang memiliki kapasitas.

2. Primum non tacere, artinya pertama-tama janganlah diam kalau ada sesuatu yang merugikan orang lain. Perihal merugikan orang lain itu, terutama diarahkan pada pengalaman masa silam calon pemimpin. Itu artinya jika ada peristiwa masa silam yang patut diungkapkan, sebaiknya calon pemimpin itu sendiri segera mengungkapkan  peristiwa itu sendiri agar  pertama-tama dia  jujur dengan dirinya sendiri, sebelum dia diminta jujur oleh khalayak atau sebelum dia meminta kejujuran orang lain. Atau jika ada pihak lain yang mengetahui kejahatan masa silam calon pemimpin patutlah diungkapkan ke khalayak ramai sebagai cara terbaik  menampakkan track record  calon pemimpin sambil pemimpin  merendahkan diri di panggung publik. Merendahkan diri di panggung politik artinya pemimpin membuka dirinya untuk  dikritik  khalayak demi kebaikan bersama. Sulit dibayangkan  jika pemimpin tidak membiasakan diri membuka diri dan tidak dibiasakan  dalam lingkungan masyarakat kritis, karena kita sedang mengubah konteks masyarakat yang kurang tulus.

Dua asas ini dapat diderivasi ke berbagai hak, kewajiban dan tanggung jawab. Karena itu, team sukses, entah hendak menyuksesakan siapa pun dari pasangan calon bupati, walikota,  gubernur dan presiden, terpanggil untuk mempromosikan nilai-nilai kejujuran,  demokrasi dan  perdamaian.

Maka, saling olok dan saling hujat antarteam, yang dilakukan  team sukses, sesunguhnya pada dirinya sendiri adalah penghinaan terhadap calon yang dibelanya. Penghinaan terhadap calon yang dibela tidak lain dari gambaran moral  para pembela itu sendiri.

Memang, saya sangat tidak setuju terhadap orang yang merasa lebih bermoral dibanding orang lain hanya karena dia tidak melakukan kejahatan atau dosa yang sama. Meski demikian, perihal track record calon pemimpin perlu dipublikasi. Semua sejarah hidupnya, sebagai bukti kejujuran sekaligus ketelanjangan hidup. Tetapi, disarankan perihal  peringkat kualitas moral para calon pemimpin (bupati, gubernur, dan presiden) perlu dan patut diungkapkan ke khalayak ramai, agar rakyat  memiliki peluang untuk membuat pertimbangan  etis dan kritis.

Pertimbangan etis pada hakekatnya  menentukan tindakan memilih pada dua hal dalam peringkat yang relatif sama. Misalnya, calon pemimpin sama-sama baik. Pilihan etis merupakan tindakan  memilih satu dari dua pemimpin yang baik itu, tetapi satu yang dipilih  memiliki nilai lebih baik dibanding yang lain. Atau sebaliknya, dua calon pemimpin (dalam kasus Pilpres), sama-sama buruk. Ietapi yang dipilih ialah pemimpin yang jumlah buruknya jauh lebih sedikit dibanding yang lain.

Terus terang, pengungkapan kualitas moral calon pemimpin kepada khalayak ramai bukan bermaksud untuk mempermalukan atau sejenisnya, melainkan agar moralitas pemimpin yang dipilih kian terang sekaligus diandalkan untuk memimpin para pemilih. Maka sikap para pemilih adalah juga pantulan dari moral para pemilih itu sendiri. Moralitas pemimpin kian terang  terutama bagi para pemilih. Itulah sebetulnya inti pentingnya  menggelar track record itu.

Memanipulasi Doa:

Doa  adalah  dialog. Dialog artinya relasi antara pendoa dan Tuhan. Tetapi, di dalam dialog itu, manusia menyadari bahwa dirinya sebagai peziarah mencari kebenaran dalam gurun kehidupan. Gurun kehidupan   penuh  tantangan dan godaan. Tantangan dan godaan dapat saja diatasi melalui jalan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diminta agama.

Pada fakta empirik, para politisi dan juga para calon pemimpin kerap menjadikan mimbar doa sebagai media manipulasi hidden interest (kepentingan tersembunyi). Cilakanya para pemimpin agama, kerap mau menjadikan dirinya sebagai media memperlancar manipulasi doa itu.

Dalam tradisi doa orang Kristen, juga mungkin dalam tradisi doa para rekan kaum muslim, selalu ada pengakuan rendah hati  terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta, Maha Ada dan Maha Pengada. Dalam tradisi kristen selalu diucapkan doa mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Itu arrtinya apa?

Artinya manusia menyadari dan mengakui dirinya tidak bersih atau tidak bebas dari noda dosa. Tetapi manusia yang berdosa  itu diundang atau dipanggil oleh suara moralnya (moral vocation) untuk selalu  mengakui  ketaklayakan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari, supaya   tidak berbuat salah lagi. Tidak mau berbuat salah lagi didasarkan pada kesadaran diri tentang keadaan  serba membelum, sehingga kesadaran itulah justru  akan mendorong dirinya sendiri untuk  bertobat dan tidak berbuat dosa  lagi. Itulah yang disebut metanoiya.

Kata para perenung, terutama kaum  meliorisme realis. Dikatakan, manusia percaya jika realitas itu tidak sempurna adanya. Tetapi realitas yang tidak sempurna itu diyakini dapat disempurnakan terus-menerus.

Penyempurnaan atas realitas itu, dalam politik dinyatakan terutama pada dua subyek. Pertama, calon pemimpin itu sendiri. Dia dipanggil secara moral (moral vocation) untuk menyempurnakan dirinya, karena hanya dengan demikian calon pemimpin keluar dari sejumlah keterbatasannya. Dengan kesanggupan dan kesediaan itu, dia layak menjadi calon pemimpin. Kedua, untuk para pemilih. Sikap pemilih dalam memilih pemimpin politik justru direflesikan melalui siapa yang dipilihnya. Kategorisasi moral pemilih ditentukan juga oleh siapa  yang dipilih rakyat. Dengan demikian, pemimpin yang terpilih adalah representasi moral para pemilih atau  pemimpin yang terpilih  memantulkan moral politik pemilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun