Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kupang dan Ruteng: Dua Doktor di Dua Kota Kotor

17 Januari 2019   17:20 Diperbarui: 18 Januari 2019   03:28 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: POS KUPANG/GECIO VIANA

Oleh Pius Rengka

Ironis memang. Dua kota di NTT,  "meraih" rekor kota kotor di Indonesia.  Dua kota paling kotor dan jorok itu, Kupang dan Ruteng.

Ironis, karena pemimpin di dua kota ini bergelar doktor. Kota Kupang dipimpin DR. Jefry Riwu Kore, Ruteng dipimpin DR. Kamelus Deno.

Meski demikian, Kota Kupang jelas beda dengan Ruteng. Walikota Kota Kupang mengurus 99,9% penduduk kota. Banyak dari mereka (mungkin 99%) datang dari sejumlah kampung di NTT, sehingga banyak di antaranya berperilaku kampungan.

Sedangkan Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, 99,9% Bupati mengurus orang kampung di kabupaten Manggarai. Kota Ruteng dihuni sedikit orang kampung yang tinggal di kota itu.

Kampung dan kota berbeda. Kelakuan sosial tersisa unsur kampung di dua kota itu. Yang mencengangkan, tentu saja, DR. Jefry Riwu Kore, mengurus 99% orang kota, nyaris tak ada orang kampung.

Sedangkan DR. Kamelus Deno, mengurus 99% orang di kampung, tetapi bersamanya sedikit orang bekas dari kampung tinggal di kota.

Menjadi orang kampung, tentu saja, tidak buruk. Manusia kampung, itu ramah. Sopan, santun, jujur, tulus. Kadang mereka tersenyum, meski sedang menderita.

Manusia kampung menghargai waktu dengan cara tidak kaku. Urusan ulur waktu dan tunda waktu kegiatan, sepertinya salah satu ciri manusia kampung. 

Jam karet itu, kebiasaan manusia kampung, karena bagi mereka waktu itu pasti akan datang kembali. Penyair Libanon, Kahlil Gibran keliru ketika berkata, waktu tak kembali dan tak bakal pernah kembali. Sehingga jika di kota ada orang terlambat datang rapat selalu disebut bertingkah macam orang kampung dan berkelakuan kampungan.

Bagi orang kampung, waktu itu, siklis adanya. Artinya, waktu akan selalu datang kembali. Biasanya mereka  bertutur begini: "masih ada waktu". Karena itu, perihal terlambat datang rapat, dianggap biasa dan biasa-biasa saja. Orang di kota datang terlambat waktu rapat, biasanya menggunakan alasan yang sama. Mereka bervisi kampung, berkelakuan kampungan.

Diundang rapat jam 08.00 pas, misalnya, datang jam 09.00 dan rapat dimulai jam 10.00 atau molor jam 11.00. Biasa saja. Bahkan perihal lambat datang kadang dianggap keunggulan. Makin lambat datang dianggap sebagai salah satu takaran jenjang kepangkatan dan kehormatan sosial. Makin datang terlambat, kian tinggi posisi sosial.  Yang datang terlambat dianggap orang penting.

Hubungan lintas personal antarorang kampung dikemas dalam relasi komunal untuk menjaga harmoni nan kuat dan mesra di antara mereka. Bagi manusia kampung, membagi rejeki hasil kerjaan individual pun dianggap biasa dan selalu biasa membagi kebaikan di antara mereka. 

Sebetulnya, korupsi dapat ditelaah dari sudut pandang ini juga. Di Manggarai dikenal cimpa, yaitu memberi tetangga hasil buruan atau hasil pertanian atau membagi bersama hasil buruan.

Sikap santun orang kampung adalah tabiat normatif. Memang agak sulit dibedakan, bersikap santun atau munafik. Mereka pun percaya mistik. Percaya ada kekuatan gaib yang mengatur hidupnya.

Jika ada orang sakit dan sakit-sakitan tak kunjung sembuh, sertamerta dikaitkan dengan kemungkinan peristiwa lain. Misalnya, orang sakit-sakitan itu mungkin tak menaruh hormat entah kepada  nenek moyang atau kekuatan lain yang tak tampak.

Seolah-olah nenek moyang itu tidak pernah lelap tidur. Mereka gelisah menunggu gugusan kebaikan dari turunannya yang sedang memgembara di dunia ini. Nenek moyang menanti dalam ketidakpastian, sehingga dia gelisah dan sibuk mengirim energi buruk kepada para turunannya. Dukun, saat itu mulai laku keras.

Manusia kampung mengatasi masalah itu dengan memohon petuah dan petunjuk dukun. Dukun diyakini memiliki kesanggupan lebih. Dukun unggul karena dia sanggup berkomunikasi dengan alam gaib dan juga tajir mendengar bisikan para nenek moyang. Sebutan nenek moyang di sini, tidak harus selalu berarti moyang itu berjenis kelamin perempuan.

Karena itu, tidak mengherankan kalau petuah para dukun dipatuhi seperti hukum alam. Dukun seolah-olah pustaka kebenaran, ensiklopedi kepastian, dan pusat informasi jitu dari alam gaib. Tampang fisik dukun kadangkala tak jauh beda dengan para pencari dukun. Sama dekil, dan sama-sama berhuruf buta.

Air ludah dukun pun ditelan si penderita saat minum  air penyembuhan yang disuguh dukun. Tampilan fisik dukun pun kecuali mengesankan, tutur katanya pun bernuansa magnet misterius.

Kadangkala, kelakuan dukun dan proposalnya merepotkan orang kampung. Tetapi toh titah dukun harus diikuti jika si sakit ingin lekas sembuh.

Lihatlah! Semburan dan percikan air sirih pinang dan ludah dukun dinikmati para pesakit saat menelan air yang diduga telah berkekuatan jampi-jampi penyembuhan. Intinya, mereka tidak perlu tafsir cermat tentang ludah dukun sebagai ancaman hadirnya penyakit lain. Pokoknya, telan saja, tutup mata. Minum saja dengan sedikit tambahan rasa asin.

Mulut dukun komat kamit.  Tidak  perlu verifikasi bertanya apa persis isi kata-kata yang ditampakkan dukun dengan mulut komat kamit itu. Percaya dan diyakini seyakin-yakinnya saja, bahwa itu komat kamit adalah serial pengucapan jampi-jampi dan sejenis metode panggilan sahih kepada nenek moyang dan kekuatan gaib. Kadangkala si sakit direndam di kolam sungai nan dalam selama waktu tertentu.

 Andaikan, dukun penyidap TBC, maka ludah dukun itulah media paling cepat penularan TBC. Tetapi, jika kemudian si sakit mengidap TBC, dukun boleh saja berkata, TBC itu diidap si sakit karena alam gaib belum merestui permintaannya.

Ludah dukun dipandang sebagai obat pendatang keselamatan dan  pembawa si sakit  keluar dari arena derita dan dhuka. Ia bakal sembuh.

Orang kampung membuang sampah di mana saja. Kencing dan tinja disiram di mana saja. Apalagi  setelah serial makan daging babi saat kempanye politik. Banyak di antaranya, buang tinja di serambi rumah. Mereka percaya, akan ada mahluk lain sebagai pembersih. Biasanya, babi ternak milik mereka berperan sebagai petugas kebersihan kampung.

Membuang dahak saat sedang makan pun, bukan satu hal buruk atau melanggar etiket, atau sopan santun, melainkan keniscayaan yang biasa. Air ingus pun ikut masuk  ke mangkuk sayur, bercampur menambah rasa asin.

Tegur sapa di antara mereka sebagai pola menjaga harmoni. Kadang, mereka bertanya sesuatu bersifat privat yang bukan menjadi urusannya. Misalnya, "hei kamu ke mana dan mau buat apa?". Itu ditanyakan semacam basa-basi yang sudah menjadi basi dari waktu ke waktu, tetapi basa-basi biasa.

Orang Kampung di Kota:

Di zaman modern ini, sisa-sisa orang kampung banyak tinggal di kota-kota.  Banyak di antaranya bersekolah tinggi. Bahkan ada di antaranya bergelar sangat tinggi. Tetapi, tak perlu kaget, bila di antara mereka  masih tekun dan setia pergi ke dukun mendengar titah dukun tentang masa depan politik.

Para calon Kepala Desa, legislator atau calon bupati, misalnya. Ada di antara mereka rajin nian berkunjung ke dukun. Analisa politik hasil riset ilmiah ditinggal jauh-jauh. Literatur politik dan nasihat filsafati, dibiarkan sunyi di perpustakaan, karena mereka lebih gemar berkonsultasi  ke dukun dan memohon tuntunannya.

Membedakan kelakuan orang kampung dengan  orang kota, memang, banyak ditulis para Sosiolog. Unsur pembeda antara lain disebutkan, orang kota itu selalu rasional. Basis tindakannya, mengandalkan otak dan ilmu pengetahuan. Mengelola hubungan sosial dan lingkungan fisik selalu mengandalkan ilmu pengetahuan sistematis.

Ilmu pengetahuan diandalkannya mengatasi masalah kehidupan. Mereka cenderung individual. Segala sesuatu dihitung seturut  sudut untung rugi, asas manfaat dan nilai kekayaan.

Manusia kota memandang waktu sebagai sesuatu yang linear dan selalu habis. Waktu tak bakal kembali. Waktu selalu habis, dan tidak akan pernah datang lagi. Slogan diucapkannya, time is money. Hubungan personal sangat individualistik.

Manusia tinggal di kota, kalau bukan pebisnis, ya para pegawai, atau kaum terpelajar.  Artinya manusia yang telah mendapat pelajaran tentang kesehatan, kebersihan, kebaikan, hukum, politik, keadilan, kompetisi ekonomi dst.

Penduduk kota itu adalah himpunan manusia modern yang berpikir dengan basis ilmu pengetahuan. Mereka mengelola hubungan sosial dan lingkungan dengan pertimbangan etis, higienis dan cleaning lalu bertindak efisien dan efektif.

Efisien waktu dan bekerja produktif mendapatkan hasil maksimal dalam waktu tersedia. Karena itu, jadwal kerja dikaitkan dengan waktu. Kelola lingkungan fisik diorientasikan untuk mendapatkan kondisi kota yang sehat, bersih dan tertata rapi. Kota bersih pantulan dari kultur penduduknya, juga tentu saja pemimpinnya.

Relevan?

Lalu, mengapa Ruteng dan Kupang masih kotor di tangan dua doktor? Adakah  relevansi gelar pemimpin dengan gaya kepemimpinannya? Adakah hubungan antara mobilisasi kemakmuran rakyat dengan gelar pemimpin di satu wilayah? Apakah gelar pemimpin sertamerta terkait langsung dengan kepiawaian pemimpin mengatur lalu lintas mobilisasi kemakmuran publik dengan sehat dan membangun lingkungan sosial yang ugahari?

Serial pertanyaan itu, tak lagi cukup urgen. Pertanyaan itu tampaknya tak sedikit pun mengandung makna relevansi signifikan jika dibandingkan dengan realitas sosial di Indonesia dan khususnya di NTT.

Meski begitu, patut dicermati pelan-pelan kota-kota jorok di NTT agar semua pihak  tidak gegabah menarik kesimpulan tanpa  belas kasihan.

Kupang dan Ruteng disebut kota terkotor berdasarkan penilaian penghargaan Adipura dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018.

Kota-kota dengan nilai paling rendah untuk masing-masing kategori kota. Kupang kota sedang, Ruteng  kota kecil. Meski dua kota ini dipimpin pemimpin bergelar doktor, tetapi  gelar sungguh tinggi itu sama sekali belum menjamin kota tempat di mana mereka berhuni bersih.

Kalangan pengamat sinis dengan gaya kepemimpinan dan pengaruh kinerja kempemimpinan di dua kota itu.  Para kritikus lalu  membandingkan Kupang dan Ruteng dengan Kota Surabaya yang dipimpin Ibu Risma.

Surabaya di bawah kepemimpinan, Walikota Ibu Risma. Surabaya kota besar. Itu kota, sanggup meraih perhatian dunia. Surabaya pantas bagi bertumbuhnya peradaban manusia  beradab.

Risma, belum meraih gelar sampai di batas gelar tertinggi. Risma membangun kota Surabaya. Aparatur penyelenggara negara dibuatnya enteng bekerja dan sehat berhubungan satu dengan lainnya. Dia pun tanpa tedeng aling-aling menempatkan stafnya pada posisi yang tepat. 

Prinsip Merit System sebagaimana diterangkan Max Weber diterapkan serius dan konsisten. Maka staf inti di lingkungan kekuasaannya adalah para the right man on the right place. Tak ada hubungan dengan balas jasa dan balas dendam politik. Tak pula ada pertimbangan sopan santun untuk penempatan di posisi yang diperlukan. Risma tegas, lugas dan terutama tidak korup. Impiannya sederhana, buat rakyat senang dan tinggal di kota yang menyenangkan.

Jangan salah kira. Di tempat lain ada pemimpin bergelar doktor. Kota dan kabupaten yang dipimpinnya berubah luar biasa, spektakuler. Sebut saja, Kabupaten Bantaeng ketika dipimpin DR.Ir. H.M. Nurdin Abdullah,M.Agr.

Pak Nurdin bekas dosen. Dia pernah pimpin perusahaan berkelas dunia. DR. Kamelus Deno, mantan dosen Undana, konsultan handal untuk pembuatan aturan main yang tidak main-main. DR. Jefry Riwu Kore, mantan Direktur Perusahaan di Jakarta, mantan anggota DPR RI. Pengalaman internasionalnya luas. Di dalam lingkungan keluarganya, tradisi komunikasi berbahasa Inggris adalah biasa.

Apa yang salah hingga kisah Surabaya, Bantaeng dengan ceritera Ruteng dan Kota Kupang bisa lain?  Dari kisah individual tentang Risma di Surabaya dan Pak Nurdin di Sulawesi, ditemukan dua tokoh ini rendah hati dan open mind. Keduanya sensitif terhadap realitas sosial rakyatnya. Berpikiran terbuka,  gemar mencari dan menemukan jalan terbaik dan tercepat. Inovatif, kreatif dan dinamis positif. Sangat obsesif dengan perubahan besar.

Gelar yang dipunyai bukan sekadar dipajang di nama individual, untuk menambah sedikit keangkeran sosiologis, tetapi juga digantung di rak tanggung jawab sosial yang paling hina di kehidupan rakyat. Diyakini, kapasitas individu akhirnya tidak ditentukan gelar yang diperoleh, melainkan  diuji kebenaran substansial akademis melalui kelola masalah di dalam periuk sosial agar matang dalam ujian sosial.

Jika kita tak sanggup melahirkan kota bersih, sehat dan sejahtera, maka benarlah sinisme sosial Thomas Fuller. Kata dia: Kebodohan bertumbuh tanpa perlu disiram.

Namun, kata saya, dua doktor pemimpin di dua kota kotor, adalah dua orang cerdas NTT yang  agak sedikit menunda  kebaikannya. Diperlukan sedikit kesabaran, karena perubahan itu segera menjelang tiba tanpa iba. Bukankah orang Indonesia suka beragama dan cukup sopan mengatur ujar: "Orang sabar dikasih Allah".

Saya membela dengan menggunakan opini arif orang-orang Spanyol. Kata pepatah Spanyol, lebih baik lambat daripada terburu-buru. Saya duga, itulah yang diyakini DR. Kamelus Deno dan DR. Jefry dalam berurusan dengan dua kota kotor NTT ini. Keduanya, saya lihat, tokoh baik adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun