Manusia kota memandang waktu sebagai sesuatu yang linear dan selalu habis. Waktu tak bakal kembali. Waktu selalu habis, dan tidak akan pernah datang lagi. Slogan diucapkannya, time is money. Hubungan personal sangat individualistik.
Manusia tinggal di kota, kalau bukan pebisnis, ya para pegawai, atau kaum terpelajar. Â Artinya manusia yang telah mendapat pelajaran tentang kesehatan, kebersihan, kebaikan, hukum, politik, keadilan, kompetisi ekonomi dst.
Penduduk kota itu adalah himpunan manusia modern yang berpikir dengan basis ilmu pengetahuan. Mereka mengelola hubungan sosial dan lingkungan dengan pertimbangan etis, higienis dan cleaning lalu bertindak efisien dan efektif.
Efisien waktu dan bekerja produktif mendapatkan hasil maksimal dalam waktu tersedia. Karena itu, jadwal kerja dikaitkan dengan waktu. Kelola lingkungan fisik diorientasikan untuk mendapatkan kondisi kota yang sehat, bersih dan tertata rapi. Kota bersih pantulan dari kultur penduduknya, juga tentu saja pemimpinnya.
Relevan?
Lalu, mengapa Ruteng dan Kupang masih kotor di tangan dua doktor? Adakah  relevansi gelar pemimpin dengan gaya kepemimpinannya? Adakah hubungan antara mobilisasi kemakmuran rakyat dengan gelar pemimpin di satu wilayah? Apakah gelar pemimpin sertamerta terkait langsung dengan kepiawaian pemimpin mengatur lalu lintas mobilisasi kemakmuran publik dengan sehat dan membangun lingkungan sosial yang ugahari?
Serial pertanyaan itu, tak lagi cukup urgen. Pertanyaan itu tampaknya tak sedikit pun mengandung makna relevansi signifikan jika dibandingkan dengan realitas sosial di Indonesia dan khususnya di NTT.
Meski begitu, patut dicermati pelan-pelan kota-kota jorok di NTT agar semua pihak  tidak gegabah menarik kesimpulan tanpa  belas kasihan.
Kupang dan Ruteng disebut kota terkotor berdasarkan penilaian penghargaan Adipura dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017-2018.
Kota-kota dengan nilai paling rendah untuk masing-masing kategori kota. Kupang kota sedang, Ruteng  kota kecil. Meski dua kota ini dipimpin pemimpin bergelar doktor, tetapi  gelar sungguh tinggi itu sama sekali belum menjamin kota tempat di mana mereka berhuni bersih.
Kalangan pengamat sinis dengan gaya kepemimpinan dan pengaruh kinerja kempemimpinan di dua kota itu.  Para kritikus lalu  membandingkan Kupang dan Ruteng dengan Kota Surabaya yang dipimpin Ibu Risma.