Analisa para supporter inti kubu Prabowo menyebutkan,  pihak yang paling mungkin melakukan perbuatan tercela itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan aktual. Tetapi selang beberapa saat, ternyata  tujuh kontainer kertas suara itu hoaks. Lagi-lagi ada semacam framing sengaja diciptakan agar imajinasi terhadap Jokowi buruk itu menguat dan harus menguat.
Jika dicermati ulang dua berita hoaks di atas, ditemukan semacam similaritas pola. Yaitu bahwa ketika elektabilitas Jokowi cenderung naik atau sedikit mengalami stagnasi, maka hoaks muncul. Â Dengan kata lain, produksi hoaks didisign untuk menahan laju pertumbuhan elektorasi, sambil terus berharap ditemukan isu-isu baru yang sanggup menumbangkan keunggulan Jokowi secara signifikan.
Dikhawatirkan, bila metode hoaks  mengalami kegagalan beruntun dan karenanya tidak berhasil menurunkan atau memperlambat laju elektorasi Jokowi, maka yang mungkin akan diciptakan adalah chaos.  Chaos ini mudah disulut karena fragmentasi sosial sudah kian meluas.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib demokrasi  di  negara fragmentatif seperti ini? Sedikit jawaban tentang hal itu akan dijelaskan berikut ini.
Demokrasi, memang, selalu mengandaikan sedikitnya tiga hal utama. Pertama, demokrasi mengandaikan rakyat (demos) terdidik secara merata dalam kultur kompetisi rasional yang dibimbing akal sehat untuk mengkalkulasi pesona visi misi dan program partai politik dan para aktor politik yang terlibat di dalamnya. Demos yang literatif ini terbimbing  jalan rational dalam menentukan pilihan politiknya.Â
Variasi pilihan politik hanyalah menjadi akibat dari kecenderungan ideologis yang dekat dengan kepentingan masing-masing para pemilih. Jadi, masyarakat kampung A, misalnya, Â tidak memilih si Badu bukan karena Badu tidak satu agama atau etnik dengan warga kampung A, melainkan karena si Badu tidak aksesibel dengan kepentingan terdekat mereka.
Kedua, demokrasi mengandaikan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat relatif di atas ambang batas kemiskinan masuk akal, sehingga rakyat  terbebaskan dari bimbingan dan godaan money politics dalam kompetisi elektoral.
Ketiga, demokrasi juga mengandaikan  swing voters tidak sebagai kelompok tanpa ideologi,  atau tanpa orientasi politik, melainkan eksistensi swing voters ditentukan oleh pasar politik yang ditawarkan politisi.
Mencermati tiga pengandaian itu, tampaknya, nasib demokrasi di negara fragmentasi akan terus mengalami ujian serius. Karenanya, meski tiga pengandaian ini  eksisting dalam kompetisi elektoral, tetapi  secara a priori fragmentasi  sosial yang disebabkan pembilahan sosial tetap menajam karena selalu ada aktor politik yang terus memeliharanya.  Aktor-aktor itulah yang terus memproduksi hoaks karena dengan demikian konflik politik tetap eksis. Hal itu persis sama dengan kasus politik identitas di Irlandia Utara dan Selatan dalam sejarah dunia.
Apa solusi? Solusi yang paling mungkin yang dapat dikembangkan ialah memperjamak blok politik prodemokrasi di level masyarakat lapisan paling jauh, seperti di desa dan di kampung-kampung.  Untuk itu masyarakat sipil prodemokrasi tidak lagi perlu "menyerang" teritori kota melainkan masuk ke kampung-kampung dan kawal perbedaan di sana sambil terus mengadvokasi serat-serat budaya  civic education.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H