Menariknya, fanatisme ini justru kian tampil dalam arena politik, dibanding sahih dalam ruang esensial pencarian jalan kebenaran dan kebaikan. Politik menarik agama masuk ke dalam arena konflik kepentingan hanya untuk menemukan dan mendapatkan konfirmasi prosedural.
Pada gejalanya, agama dan juga pejuang nilai-nilai agama tidak lagi berdaya menjadikan agama sebagai modalitas esensial mencari dan menemukan hakekat keilahian Allah, malah  agama menjadi problematis kronis yang menggelikan sekaligus mengasingkan.
Dalam sejarahnya ke depan, politik kompetisi merebut kursi (legislatif atau Presiden) akan selesai pada bulan April 2019 dengan hanya dua terminologi khas. Kalah menang. Yang kalah tentu sendu dan mungkin berdhuka, yang menang senang mungkin sumringah sampai tak sungkan-sungkan entah untuk apa setelahnya. Apakah agama akan fungsional pada situasi menang kesenangan dan pada kalah lelah penat tak kesampaian. Saya jawab tidak.
Pada saat senang, biasanya manusia melupakan Tuhan sambil berharap agar Tuhan tidak melupakan mereka. Sedangkan orang kalah, biasanya menyalahkan yang menang sambil berharap Tuhan mengampuni kesalahan mereka. Pada situasi ini, agama lalu menjadi variable seremonial.
Rakat pada siatuasi itu, akan tekun mengais mencari sesuap nasi, dan yang berkuasa, entah siapa pun gerangan dia, akan mengatur cara memanfaatkan semaksimal mungkin kuasa yang tersedia entah ke arah memakmurkan rakyat atau menggemukkan yang mengatur di balik perolehan kekuasaan itu. Karena itu, agama harus memulihkan dirinya sendiri agar dia menjadi modalitas esensial bagi pemuliaan budaya kehidupan, bukan menjadi problem kronis yang problematis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H