Agama di segala jaman dan segala tempat merupakan masalah yang rumit dan hangat untuk umat manusia.
Di satu pihak, agama dijunjung sebagai pedoman hidup menuju keselamatan manusia. Agama, karenanya, Â sebagai unsur penting dan bahkan sangat mutlak untuk nation building, sebagai pencerah dan dasar segala kebudayaan dan pemenuh inti perikemanusiaan. Saya duga, sila kedua Pancasila itu bersumber dan berakar dari sinar terang cahaya kemuliaan agama. Mengapa? Karena agama memuliakan kehidupan agar kehidupan mencahayai kebudayaan bukan mengabdi pada budaya kematian.
Namun, di lain pihak agama juga dalam pelbagai bentuk dan ekspresinya tidak menguntungkan manusia, mencelakakan sesama, bahkan justru cenderung merugikan para pemeluk agama itu sendiri. Hal itu terkait dengan macam-macam agama saling bertentangan, timbulkan persoalan hubungan sosial individu, kelompok kecil, daerah, nasional bahkan internasional.
Sampai-sampai ada orang di dunia ini rela bunuh diri dan sanggup bunuh orang lain hanya karena keyakinan pada agama. Mereka baku bunuh karena soal agama, dan masih banyak baku lain yang kadang sulit sekali dipahami.
Pada ketegangan itulah, politik tiba-tiba mengambil peran dan menjadikan agama sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan dan ingin mendominasi melalui kekuasaan itu.
Ekses yang muncul, terutama akhir-akhir ini, migrasi manusia dari satu tempat ke tempat lain begitu deras, bukan karena didorong oleh hasrat wisata yang melenturkan keheningan nan indah, tetapi karena manusia mengalami tekanan dan penodaan atas kemuliaan hidupnya, lingkungannya dan relasinya. Manusia menjadi mahluk asing dari habitasi kulturalnya.
Dan, manusia tega membuat berita bohong/hoaks hanya untuk merebut kekuasaan. Agama pada konteks ini sungguh sangat diperalat oleh politik, bukan sebaliknya agama mencahayai aktivitas politik agar tercipta kedamaian dan keteduhan hidup. Akibatnya agama seperti minus keheningan, nirketeduhan, dan menjauh dari situasi damai.
Bukan hanya itu saja, agama secara individu seringkali merugikan manusia ketika orang mudah sekali berubah menjadi sangat fanatis lalu bermetamorfosa menjadi fanatisme buta, sebuta-butanya dan kemudian dengan enteng mengklaim kebenaran buta dan tunggal, sehingga kemudian dia sendiri pun terbelenggu di dalam kebenarannya itu. Bahkan ada di antaranya begitu pongah mengaku sebagai pustaka kebenaran. Akibatnya, dia tidak sanggup menemukan jalan keluar dan jika toh pun jalan keluar ditemukan, maka jalan yang ditemukan itu adalah keluar jalan.
Atau sebaliknya, agama tiba-tiba menjadi tempat nyaman untuk menghibur diri dari derita nan panjang, seolah-olah diyakini mati-matian bahwa Tuhan akan begitu murah hati, meski manusia sambil tidur-tiduran rejeki datang sendiri mengetuk pintu kehidupan lalu masuk  ke rumah kesejahteraan dalam jumlah berlimpah, tidak perlu melalui kerja keras dan ulet terencana.
Itulah mungkin alasan mengapa dulu Lenin berkata, agama adalah candu untuk rakyat, dan Feurbach, guru besar dari Karl Marx, menulis begini: Agama (berhasil?) mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.
Mencermati itu, fanatisme yang keterlaluan kerap menghasilkan keterasingan yang berlebihan lalu menjadi sunyi. Karena fanatisme adalah sikap menonjolkan agamanya sendiri  dengan kecenderungan menghina agama lain sambil berupaya mengurangi bahkan meniadakan hak hidupnya.