Begitu banyak lalu lalang kendaraan yang memenuhi jalanan DKI Jakarta, hingga identik dengan kemacetan. Siapa yang salah? Tentu saja menyalahkan bukanlah sebuah solusi. Akan lebih baik kita syukuri karena banyaknya kendaraan membuktikan daya beli masyarakat semakin membaik.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di DKI Jakarta merupakan hal yang menimbulkan banyak konsekuensi di semua lini. Pembangunan demi pembangunan terjadi tiap hari. Mulai dari gedung perkantoran, apartment, fasilitas umum, sampai jalan raya. Dalam sisi lain pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia sungguh sangat tinggi, tercatat setiap tahunnya lebih dari 5 juta motor roda dua terjual, belum lagi mobil dan kendaraan lainnya. Dari jumlah tersebut, sebagian besar memadati DKI Jakarta.
Dalam setiap pembangunan  selalu melibatkan banyak faktor, mulai dari lahan yang akan dibangun, biaya pembangunan, desain atau perencanaan, juga kepentingan utamanya apa pembangunan tersebut. Pembangunan sendiri meliputi dua macam, yaitu membangun mulai dari awal, atau merenovasi bangunan yang sudah ada.
Hal yang lagi dikonsentrasikan beberapa tahun terakhir adalah pembangunan sarana dan prasarana transportasi, mulai dari bandara, pelabuhan, stasiun kereta dan terminal, tanpa melupakan jalan raya. Tercatat pada 2016 telah selesai 176 KM jalan TOL baru, dan ditargetkan tahun 2017 ini akan selesai total 382 KM TOL baru.
Hal yang paling sering menjadi rumit adalah urusan lahan, karena keterbatasan lahan mengharuskan suatu pembangunan selalu dibenturkan pada diskusi alot antara pemilik lahan dan biaya ganti rugi / ganti untung yang diharapkan.
Kembali ke DKI Jakarta, lahan di ibukota sangatlah mahal, sehingga pembangunan sarana prasarana transportasi mayoritas dilakukan dalam bentuk renovasi. Terutama pada terminal dan stasiun kereta api. Pembenahan-pembenahan telah dilakukan, dengan menyulap bangunan lama menjadi bangunan baru, termasuk menata lingkungan sekitarnya. Hal yang sangat sulit dilakukan adalah memperluas lahan, karena bisa dibilang lahan sudah habis.
Belum lama ini kita lihat bagaimana fungsi trotoar yang diisi serta dilalui oleh kendaraan ojek, dan bukan hal baru lagi ila trotoar diisi oleh pedagang kaki lima (PKL). Penertiban yang dilakukan seakan sebuah adegan drama kucing-kucingan yang tidak pernah selesai. Beberapa ruas jalan sering kita lihat dijadikan area parkir liar. Terutama yang dekat dengan fasilitas umum seperti terminal dan stasiun.
Penertiban sering dilakukan Dinas Perhubungan sebagai dinas terkait urusan trotoar dan jalan raya, Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan juga Pemda DKI pun juga ikut sibuk memberi saran dan teguran. Beberapa waktu lalu bahkan sempat Pemda DKI memberikan permintaan kepada beberapa Stasiun di DKI Jakarta untuk menyiapkan lahan parkir yang lebih luas, agar menampung banyak kendaraan.
Sekilas permintaan yang sederhana, akan tetapi bila kita kembali menengok faktor sebuah pembangunan bisa terjadi tadi, dimana lahan adalah salah satu faktor utamanya, tentu akan jadi sangat rumit mikirnya. Beberapa stasiun di DKI Jakarta letaknya strategis, dan muka  yang berhadapan langsung dengan jalan raya luasnya terbatas. Membangun lahan parkir tidaklah semudah teorinya. Karena disaat pembangunan harus dilakukan, sudah pasti akan memakan lahan yang saat ini dipakai untuk kepentingan lain.
Mempercantik stasiun dan menambah fasilitas Stasiun Kereta Api / Terminal Bus selalu bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, akan tetapi seyogyanya pihak pemerintah terkait harus maju paling depan untuk urusan lahan. Bila ini bisa dilakukan, maka benturan-benturan yang sering terjadi akan lebih bisa ditanggung bersama.