Arifin salah seorang Pemimpin Redaksi (Pimred) dari salah satu media online mengatakan "Informasi adalah ibarat harta karun bagi seorang jurnalis, karena dari sanalah bisa tergali beragam peristiwa maupun kasus kasus dan fakta lapangan yang tersembunyi, dan bila kaitannya dengan kontrol sosial ya mau tidak mau hal tersebut harus di beritahukan sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik, semakin ditutup tutupi maka akan semakin mengundang banyak rasa penasaran dan makin banyak jurnalis yang akan melakukan investigasi secara lebih mendalam, makanya bila melihat kasus yang terjadi siang tadi ada semacam sesuatu yang dianggap janggal dan berpotensi membuat gaduh suasana dan tatanan yang ada maka tak segan segan para rekan awak media memberitakan, terlepas dari kehadirannya apakah diundang atau tidak, karena berdasarkan informasi yang di dapat maka insting seorang pewarta akan mendatangi sumber kegiatan, dan kebetulan terjadi fakta dilapangan yang tidak sesuai ekspektasi, maka terjadilah momentum kristalisasi bola salju yang sekian lama terpendam mencuat ke permukaan, karena dipicu oleh sebuah persoalan yang kebetulan berkaitan dengan diskriminasi awak media, dugaan tindak diskriminasi tersebut terlihat jelas di lapangan ketika ada kejadian salah seorang rekan mempertanyakan terkait absensi media, yang sudah barang tentu dan lazimnya sebuah kegiatan bila di liput, maka awak media pastinya menanyakan terkait detail dan kontak di penyelenggara kegiatan, hal ini dimaksudkan agar setelah nantinya artikel liputannya jadi, bisa diinfokan pada si penyelenggara kegiatan, plus termasuk pada publik dalam hal ini masyarakat luas di sekitar kegiatan acara maupun di tataran pemberitaan nasional, ini sudah menjadi kebiasaan bagi beberapa awak media yang memang bertanggung jawab dengan apa yang sedang dikerjakan sebagai bagian dari integritas dan tanggung jawab profesi, terlepas nantinya setelah artikel dibaca pihak penyelenggara mau memberikan apresiasi media ataupun tidak itu nomor sekian, yang pasti awak media sudah datang mengisi buku tamu absensi, dan menulis artikel berita, serta dikirimkan pada penyelenggara kegiatan, kebijakan selanjutnya adalah terserah pada pihak panitia apakah mau memberikan ucapan terima kasih berupa apresiasi penghargaan terhadap media berupa sejumlah uang atau souvenir atau apapun itu hak panitia, tugas jurnalis selesai sampai disana, bila tak ada hak jawab lanjutan" paparnya
"Namun bila melihat persoalan yang terjadi siang tadi memang ada pengecualian disana, sebab terjadi pihak panitia sudah mengkondisikan 4 awak media, sementara beberapa awak media yang lain di berikan perlakuan yang tidak menyenangkan, seolah seperti diabaikan begitu saja, dan tidak dilihat kehadirannya, ketika ada pertanyaan terkait absensi bahkan dijawab ketus oleh kepanitiaan penyelenggara kegiatan, hal tersebut yang kemudian menjadi pemantik dan triger dari rekan rekan awak media guna melakukan exspose dan melayangkan ketidakpuasan melalui media masing masing, hal ini ditengarai karena panitia justru memberitahukan sebuah informasi yang mengatakan bahwa ada apresiasi dana peliputan yang sudah diberikan 4 pada awak media yang merupakan undangan, hal ini membuat kesalahpahaman terjadi dan kemudian meluas hingga ke group WA bahkan menjadikan perpecahan diantara warga penghuni WA yang notabene berprofesi menjadi Pewarta," terangnya.
Sebenarnya bila kepanitiaan itu intonasi nada bicara dalam penyampaian'nya baik- baik dan memberitahukan sebelumnya pada Prokopim Klaten selaku pihak pemberi informasi, bila acaranya bersifat tertutup dan hanya khusus undangan yang boleh meliput, tentu akan lain persoalannya, dari sinilah pada akhirnya suasana jadi tidak kondusif, dan menimbulkan pergesekan diantara para Pewarta sendiri baik Lokal pun Nasional, yamg merasa di beda bedakan dan diskriminatif, bahkan pihak Humas Setda Kabupaten Klaten selaku orang tua para Pewarta Klaten di duga ikut membackup, cenderung menyalahkan awak media yang hadir meliput, hal ini makin memicu persoalan jadi semakin meruncing, sebab bagaimanpun budaya diskriminatif bukanlah budaya insan pers yang katanya memahami Undang Undang Pers dan kode etik jurnalistik, maupun Pedoman Pemberitaan Siber, bilamana satu daerah yang  diperbolehkan meliput berita hanya orang orang tertentu pastilah ada ketidak seimbangan suasana didalamnya dan di duga justru awak media yang meliput adalah bagaian dari kepentingan dan hanya sebagai alat media propaganda si penyelenggara kegiatan maupun stakeholder setempat yang terlibat, agar tidak terjadi perkembangan bola bola liar asumsi yang beredar di masyarakat maka mamang di perlukan upaya guna pelurusan masalah dan ketegasan dari pihak pemangku kebijakan dalam penetapan siapa siapa dan kriteria yang boleh melakukan peliputan media, sedianya memang tidak diperlukan lagi media dan cukup hanya 4 media itu saja di Daerah ya lain cerita, maka kita dengan senang hati kita akan meninggalkan Klaten bilamana demikian yang di kehendaki, " pungkasnya.
Dari peristiwa yang terjadi siang tadi menjadi pembelajaran bersama baik bagi penyelenggara kegiatan maupun bagi para pewarta dan stakeholder pemangku kebijakan pemerintahan kedepan, hendak dibawa kemana jurnalistik media di Daerah Klaten ini, dan evaluasi serta perbaikan selanjutnya setelah kejadian siang tadi, hal ini menjadi penentu apakah nantinya dunia peliputan jurnalistik di Klaten menjadi lebih baik atau justru malah lebih parah dan diskriminatif.
( Pitut Saputra )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H