Mohon tunggu...
Pitri Lestari
Pitri Lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Sometimes, your best is not good enough

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi-Tradisi Unik Suku Bangsa di Nusantara [Part 2]

10 September 2023   14:06 Diperbarui: 10 September 2023   14:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai tradisi-tradisi di Nusantara rasanya tidak akan pernah ada akhirnya, sebab setiap daerah memiliki keberagaman yang sangat melipah. Hal ini tentu menjadi salah satu kaunia yang harus disyukuri oleh kita sebagai warga negara Indonesia.

Jika di artikel sebelumya sudah dibahas beberapa tradisi yang sangat menarik ini. Pada artikel kali ini pun akan dihadirkan juga tradisi-tradisi lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Semoga dengan kita mengetahui bahwa tradisi di bumi pertiwi ini begitu melimpah, bisa menjadi motivasi untuk melestarikannya.

Kebo-Keboan

Berasal dari daerah Banyuwangi, khususnya Desa Alasmalang dan Aliyan. Tradisi Kebo-Keboan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18. Untuk pelaksanaannya sendiri dilakukan pada Hari Minggu tanggal 1-10, Bulan Asyura. Adapun alasan kenapa dilaksanakan pada Hari Minggu agar semua warga dapat bergabung dan Bulan Asyura karena dianggap sebagai bulan keramat bagi Masyarakat Jawa. Tujuan diadakannya tradisi ini yaitu untuk meminta hujan saat musim kemarau agar para petani dapat segera bercocok tanam.

Saat tradisi berlangsung masyarkat setempat akan mendandani manusia menyerupai kebo (dalam Bahasa Indonesia disebut kerbau). Mereka mengenakan tanduk buatan, lonceng di leher dan dilumuri oli atau arang. Mayoritas persertanya adalah kaum laki-laki, sementara kaum perempuan bertugas dalam menyiapkan makanan dan sesajen yang lengkap di mana hal ini dipercaya dapat mengamankan beberapa ruas jalan di desa tersebut.

Di awali dengan pembajakan sawah oleh manusia yang sudah didandani seperti seekor kerbau diirinngi musik tradisional. Terkadang manusia kerbau ini tiba-tiba kesurupan dan menjadi liar sehingga penonton tidak diizinkan melihat dari jarak dekat.

Upacara Memitu

Memitu memiliki arti tujuh, hal tersebut berasal dari Bahasa Jawa "mitu" yang artinya tujuh. Tujuan dari tradisi ini adalah bentuk rasa syukur pasangan suami istri kepada Tuhan YME karena telah dianugerahi anak dan sebagai permohon agar saat waktu kelahiran tiba sang ibu dan anaknya diberi keselamatan. Biasanya dilaksanakan  saat usia kehamilan menginjak tujuh bulan, antara tanggal 7, 17, atau 27.

Persiapan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk Upacara Memitu antara lain jarit atau tapih, kain panjang sebanyak 7 lembar dengan warna yang berbeda, pendil atau tembikar yang berisi air, beberapa uang logam dan jenis tanaman, kembang tujuh rupa, kelapa muda yang telah diberi ukiran salah satu tokoh wayang, dan sesaji.

Bakar Batu

Bakar Batu merupakan tradisi yang terdapat di masyarakat Papua. Tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa karena telah memberikan berkah yang melimpah selain itu dilakukan juga ketika ada acara-acara penting seperti pernikahan ataupun penyambutan tamu angung.

Nama lainnya adalah Barapen. Banyak istilah-istilah lain yang digunakan seperti gapii atau mogo gapii dan kit oba isago. Tradisi Bakar Batu menjadi ajang berkumpul warga sekitar sehingga mencerminkan rasa solidaritas dan kebersamaan yang tinggi dari warga di sana. Terdapat tidak tahapan dalam pelaksanaannya yaitu Tahapan Persiapan, Tahapan Membakar Babi, dan Tahapan Makan Bersama.

Tradisi Potong Jari

Tradisi ini menjadi rekam jejak sejarah dan budaya Suku Dani di Papua. Walaupun sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap ekstrem, masih banyak ditemukan sesepuh atau orang tua yang memiliki jari yang tidak utuh lagi sebab dulunya melakukan tradisi potong jari (ikapilin).

Jari yang dipotong menunjukkan berapa anggota keluarga yang telah meninggal. Adapun nilai filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu "Kehilangan satu angota keluarga, rasanya tidak akan lengkap lagi. Demikian pula jika kehilagan satu ruas jari, tangan tidak akan berfungsi dengan optimal lagi." Jari sendiri melambangkan bentuk persatuan, kerukunan, serta kekuatan dalam diri manusia dan keluarganya.

Bau Nyale

Bau berasal dari Bahasa Sasak yang artinya menangkap dan Nyale artinya cacing laut. Tradisi ini berasal dari Suku Sasak di Lombok, NTB. Saat pelaksanaannya masyarakat akan berusaha untuk menangkap cacing kaut di Pantai Kuta. Masyarakat Lombok mempercayai bahwa cacing-cacing laut atau dikenal dengan sebutan nyale yang ditangkap adalah penjelmaan dari Putri Mandalika. Menurut sejarahnya, Putri Mandalika adalah seorang perempuan cantik yang menceburkan diri ke laut untuk menghidari peperangan antar pangeran yang memperebutkan dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun