Sinar mentari terasa telah menusuk kulit sehingga aku pun memicingkan mata. Karena di sana sudah tidak ada lagi tuan muda dengan wajah kusut namun berpakaian rapi, aku bisa memastikan kalau hari terlambat bangun. Sambil menikmati bunyi keroncongan alami yang muncul dari balik lambung, aku dengan berat hati melangkahkan kaki walaupun tidak tahu tujuan.
 Ingatan tentang pagi yang cerah di mana aku melahap roti lapis salmon dengan susu hangat hampir kabur. Itu sebabnya malam tadi aku terjaga, dan terpaksa harus melewatkan hiruk-pikuk kota di pagi hari. Setelah cukup lama berjalan tanpa tujuan, aku melihat beberapa tuan muda bewajah kusut yang biasa dijumpai di pagi hari, namun kini pakaiannya juga ikut kusut.
 "Ah, rupanya sudah petang, tetapi lambungku masih menari-nari." Ucapku.
 Langit terlihat semakin gelap. Tentu saja karena sudah petang dan sepertinya akan turun hujan juga. Ketika butir pertamanya jatuh aku bersegera mencari rumah impian. Tentu saja bukan yang dilengkapi dengan pintu tinggi dan lebar, ataupun terdapat loteng di dalamnya. Hanya sekumpulan daun beranting rapuh agar aku tidak terlalu kesepian.
 Saat hampir seluruh badanku mengigil karena tak kunjung aku menemukan rumah impian itu. Mataku menangkap sekumpulan asap putih yang hampir tersingkirkan oleh hujan. Awalnya aku mengira itu kabut, tetapi setelah aku mendekatinya ternyata itu asap dari sebuah rumah. Di sana terlihat sepi sehingga aku memberanikan diri memanjat pagarnya yang tinggi.Â
 Setelah cukup lama berkeliling dan hujanpun sudah mulai mereda, aku menemukan sebuah gentong yang berkilau. Secara otomatis aku mendekat dan membukannya. Ternyata di dalamnya terdapat salmon kering siap makan. Walaupun agak sungkan tetapi pada akhirnya aku menghabiskan semuanya. Tidak lama kemudian rasa kantukpun datang.
 Sebelum matahari menampakan wajahnya, aku bersegera pergi dari rumah itu. Seharian aku menyusuri kota tapi tidak ada tanda-tanda seseorang yang mencariku. Saat hari mulai gelap, tiba-tiba dengan sendirinya aku kembali ke rumah itu. Dan seperti biasanya, terlihat sepi, namun ada sekumpulan asap putih yang ke luar dari dalam rumah. "Apakah gentong itu baik-baik saja?" Gumamku.
 Saat aku hendak membuka tutup gentong itu, seseorang menangkapku dari belakang. Dia langsung memborgol tanganku tanpa ampun. "Kena kau pencuri!" Ucapnya. Entah mengapa tiba-tiba mulutku seakan terkunci sehingga tidak ada sepatah katapun yang mampu terucap. Sehingga dengan pasrahnya aku menerima tubuhku diseret oleh orang tadi.
 Dia membawaku ke dalam sebuah ruangan yang besar dan megah namun sangat sedikit cahaya. Aku tidak bisa mengamati dengan jelas apa saja yang ada di sana. Setelah cukup lama mematung, aku menyadari bahwa ada seseorang yang duduk di depan tumpuan api dengan wajah muram. Orang yang membawaku tadi mendekatinya. Tidak lama kemudian sesosok wajah tua menuju ke arahku.
 Wajah itu menatapku dengan serius. Karena merasa bersalah aku bersegera berlutut dihadapannya dan meminta maaf. Namun dia menyuruhku untuk bangun. Wajah yang tadi menatapku serius kini telah berubah menjadi ramah. "Siapa namamu?" Tanyanya.