Mohon tunggu...
Pitoyo Amrih
Pitoyo Amrih Mohon Tunggu... profesional -

Memberdayakan diri dan keluarga,.. dengan membawa nilai-nilai kearifan budaya sendiri, .. adalah sebuah pondasi dalam upaya membangun karakter bangsa Indonesia yang berdaya, mandiri, dan bermartabat di mata dunia... Profile saya: http://profil.pitoyo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopassus Itu Bernama Abimanyu

8 April 2013   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang Baratayudha melawan preman Kurawa itu seperti tak berkesudahan. Ketika suatu hari di tengah kancah pertempuran terdapat sosok pendiam yang dengan berani menghadang perlawanan di kandang lawan. Seorang ksatria bernama Abimanyu. Seorang diri menyongsong belasan orang yang garang menyerang. Sulit dipahami memang. Nafsu apa yang ada di benak para penyerang, ketika lawan mereka seorang diri tak seimbang sudah tak berdaya bersimbah darah, tapi orang-orang ini tetap merajam. Para Kurawa ini tetap gelap mata menghujamkan parang dan melesakkan anak panah.

Abimanyu tak pernah mengeluh, sedikitpun tak terdengar erang kesakitan dari mulutnya. Dia tetap bertahan membela diri sampai nyawa berpulang. Abimanyu wafat dalam keadaan penuh luka di wilayah jauh di tengah jantung pertahanan lawan. Dia wafat meninggalkan seorang istri, Dyah Utari, yang saat itu tengah hamil tua menunggu kelahiran sang putra pertama dan tentunya menjadi satu-satunya keturunan mereka berdua.

Diantara para pengeroyok Abimanyu itu, terdapat seorang tegap bernama Jayadrata. Bagaimana perannya mungkin masihlah membingungkan, tapi banyak yang percaya, Jayadrata sebenarnya tak terlibat langsung pengeroyokan, bahkan sebenarnya dia berusaha mencegah. Namun ketika gegap gempita kabar Abimanyu yang disiksa secara tak seimbang itu merebak, Jayadrata lah yang dengan tegar memasang badan bagi teman-temannya. Berdiri paling depan menyongsong kebencian para keluarga Abimanyu.

Adalah Arjuna, ayah Abimanyu yang kemudian tersulut naik pitam. Tak pernah terbayangkan sang ksatria santun Pandawa itu begitu amat sangat marah. Hari menjelang senja yang seharusnya menjadi gencatan senjata pertempuran tak dihiraukannya. Seorang diri dalam temaram matahari terbenam merangsek mencari Jayadrata. Percuma Jayadrata disembunyikan. Panah tajam Arjuna pun akhirnya menigas lehernya. Yang sejurus kemudian Arjuna juga menyudahi beberapa orang lainnya yang terlibat pengeroyokan Abimanyu.

Cukup tertegun saya membaca kisah seorang prajurit Kopassus Heru Santoso, yang diakhir perjalanan hidupnya begitu mirip dengan apa yang dialami Abimanyu dalam kisah dunia wayang. Bagaimana dengan keberaniannya, beliau menjamah wilayah kekuasaan ‘lawan’. Bagaimana dia harus mengalami peristiwa memilukan wafat saat bertugas atas pertempuran tidak seimbang. Dan bagaimana dia ditakdirkan untuk berpulang saat istrinya masih mengandung anak pertama mereka.

Bisa jadi memang apa yang terjadi belum tentu itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi. Penilaian kita sebagai orang khalayak dalam memindai peristiwa hanya dari lalu lalang berita pun kemungkinan masih sangat bias menggambarkan kenyataan. Namun bila sebagian besar berita yang ditulis itu benar, saya merasa sosok pengeroyok mungkin juga ada yang seperti seorang Jayadrata yang memasang badan mengambil tanggung jawab apa yang telah dilakukan  yang mungkin tidak secara langsung mereka sengaja lakukan.

Dan benar, peristiwa itu pun belum berhenti sampai di situ. Ketika kemudian semangat ‘nyawa balas nyawa’ diperlihatkan  oleh teman-teman korps mendiang Heru Santoso. Apa yang dilakukan mereka secara hukum adalah salah, tapi mungkin ketika kita mencoba menelisik relung-relung empati, bisa jadi terdapat lorong dimana kita bisa memahami apa yang telah mereka lakukan. Seperti kita memahami bagaimana seorang Arjuna menghabisi para pengeroyok Abimanyu. Emosi Arjuna pun reda ketika Jayadrata dan tersangka pengeroyok lainnya mati, tidak merembet ke sekutu lain yang tidak terlibat langsung  peristiwa itu sendiri.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, mungkin apa yang sebenarnya terjadi belum tentu seperti apa yang terberitakan. Tapi saya biasa lebih suka untuk selalu mengedepankan prasangka baik. Karena hal yang baik akan lebih mudah terjadi bila diawali dengan prasangka baik. Prasangka baik yang membuat kita sebaiknya mempercayakan proses hukum negri kita, yang dengan segala keterbatasannya, sepertinya berjalan semakin dewasa dan terbuka. Prasangka baik yang akan lebih baik bila kita membatasi polemik apalagi menuduh ini itu hanya berdasar sangkaan dengan bukti yang hanya bersumber dari opini.

Dan walaupun mungkin hanya sekedar cerita, tapi kisah tragis Abimanyu-Jayadrata itu berganti dengan lembaran indah. Ketika Dursilawati, istri Jayadrata, membimbing anaknya, Arya Wiruta, yang tinggal di negri jauh, Banakeling, berkunjung membuka silaturahmi ke negri Hastinapura yang generasi berganti kemudian sudah dipimpin oleh Bambang Parikesit, putra Abimanyu. Mereka berbicara, mereka saling memaafkan. Tak pernah melupakan tragedi yang terjadi tapi tetap sebatas menjadikan itu sebagai bahan pembelajaran, bukan dendam tak berkesudahan.

Mungkin saat ini, akhir seperti itu hanyalah sekedar mimpi. Tapi saya yakin suatu saat generasi berganti, hal baik seperti itu bisa akan terjadi. Jika kita mau…

Pitoyo Amrih

http://www.pitoyo.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun