Banyak orang Indonesia silau dengan negri Amerika. Sebagian ada yang bahkan berandai bisa hidup di sana. Negri yang menjunjung tinggi kebebasan katanya. Rujukan tentang bagaimana demokrasi seharusnya dipraktekkan. Banyak negri yang juga membuat semacam road-map dengan pernak-pernik perikehidupan yang mengacu pada model negri Amerika sebagai rumusan. Tapi benarkah negri ini memang sebuah negri impian? Tragedi yang baru saja terjadi di Connecticut tentang seorang Adam Lanza, yang pada usia belianya –entah apa yang ada di benaknya- membunuh orang-orang di tengah kehidupan kota yang damai dan tentram, seharusnya membuat kita semua bertanya, benarkah model kehidupan negri Amerika memang bisa dijadikan acuan? Apakah kejadian itu hanya sebuah anomali serba kebetulan, ataukah memang Adam Lanza adalah puncak gunung es sebuah tata kehidupan negri yang sebenarnya sedang sakit?
Dari perspektif sosial budaya, ada yang kemudian langsung mengemukakan kesimpulan tentang sedikitnya sentuhan kehidupan beragama di negri itu. Menjunjung tinggi kebebasan, terlalu bebas, bebas beragama, bebas tidak beragama, bebas menafsirkan apa itu agama. Tapi apakah itu tafsir agama? Toh kita sebagai negri beragama juga masih disibukkan oleh aksi terorisme yang para pelakunya justru termasuk orang yang patuh menjalankan ibadah agamanya. Bahkan kita lihat wilayah Timur Tengah sebagai sumber agama dunia, yang secara logis bisa diartikan sebagai wilayah yang menggeluti ilmu dan tafsir agama lebih lama dibanding negri lain di dunia, sampai sekarang justru selalu saja terjadi kisruh keseharian.
Baiklah, manusia memang tak pernah sempurna. Para pengagum John Lenon bisa jadi hanyalah tetap bermimpi tentang ‘living life in peace’. Tapi paling tidak semua pelaku kehidupan kolektif, entah itu sebuah negara ataupun lingkup lingkungan kecil sebuah kehidupan paling tidak punya sebuah model inspirasi bagaimana sebuah kehidupan di tata. Tak sekedar dalam bentuk teori, wacana dan kata-kata, tapi paling tidak memodelkan sebuah contoh kehidupan nyata. Mungkin bukan contoh tujuan. Sekedar jalur mengarahkan perspektif kepada tujuan. Dan dari segala pertimbangan obyektif tentang tata kehidupan yang bisa mewadahi segala macam karakter, ras, dan kepercayaan manusia untuk hidup berdampingan saling menghargai, memang bisa dipahami bila banyak orang menunjukkan jarinya kepada contoh perikehidupan seperti kehidupan Amerika.
Tapi apa yang dilakukan Adam Lanza seharusnya membuat kita kembali bertanya. Apalagi bila kita melihat kejadian itu tidak bisa dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Menurut berita, rupanya pada saat yang hampir bersamaan di belahan wilayah Amerika yang lain juga hampir terjadi kasus serupa. Dalam lima tahun terakhir kejadian pembunuhan brutal di Amerika pun sudah dianggap para pengamat sosial sebagai ‘siaga satu’ kehidupan sosial di sana. Mungkin tidak terlalu aneh bilasaja kejadian itu terjadi di Amerika di tahun enampuluhan saat gangster lebih berkuasa. Juga tak aneh bilasaja kejadian itu terjadi di kawasan keras yang berisi orang-orang mudah marah. Tapi Adam Lanza hidup disebuah kota yang dinilai paling aman tentram dibanding kota lain di Amerika.
Pertanda persoalan itu tidak lagi ada di permukaan. Masalah nya bisa jadi tidak terletak pada komunitas secara kolektif yang tampak selalu baik-baik saja. Masalahnya bisa jadi berawal dari bangunan komunitas terkecil, sebuah keluarga! Karena masalah dalam sebuah keluarga tidak selalu bisa terlihat berimbas pada persoalan komunal. Misalnya di negri kita yang cukup sering terjadi konflik antar kelompok masyarakat, bila diurai bisa jadi salah satu akar masalah berujung pada masalah keluarga. Tapi logika ini kemudian tidak bisa dibalik bilasaja kita melihat sebuah komunitas yang baik-baik saja tidak selalu bisa diartikan bahwa semua komponen keluarga baik-baik saja.
Setiap keluarga pasti punya masalahnya sendiri-sendiri, ada keluarga yang kemudian bersama membangun kemauan mengelola setiap masalah yang ada, tapi tak sedikit keluarga yang ‘membiarkan’ masalah, tertimbun masalah-masalah berikutnya, semakin membentengi diri tidak lagi melihat keluarga sebagai ‘kita’ tapi berangsur semakin menjadi ‘aku’. Tak peduli apakah hal ini bisa ‘meledak’ suatu saat. Adam Lanza adalah contoh sebuah ‘ledakan’.
Saya yakin banyak yang setuju bahwa keluarga tidak selalu menjadi satu-satunya persoalan. Tapi saya lebih suka logika bila kita semua berkemauan untuk selalu berusaha membangun pondasi keluarga yang baik, maka sebuah komunitas yang baik akan terjadi dengan sendirinya. Tidak sekedar komunitas yang sekedar tampak baik, tapi sebuah kehidupan masyarakat yang memang benar-benar baik.
Hal inilah yang sebaiknya kita renungi menjadi pelajaran kita. Tata kelola kehidupan kolektif baik yang menjadi perhatian harus juga dibarengi sebuah teladan membangun keluarga yang baik. Yang selalu mendorong pendewasaan pikiran, membangun kecerdasan emosi semua anggota keluarganya. Semua orang boleh saja bercerita gegap gempita tentang etika dan moral, tapi bagaimana kehidupan keluarganya adalah sebuah ‘foot-print’ nyata sebenarnya tentang integritasnya terhadap etika dan moral. Dan itu hanya masing-masing diri kita yang bisa menilai kita sendiri.
Masalah sosial dan budaya di negri kita yang bersifat kolektif memang selalu menjadi hal yang bersifat kuratif untuk segera dicari pemecahannya. Tapi kasus seperti Adam Lanza ini seharusnya juga menjadi perhatian yang menuntut tindakan preventif dari masing-masing keluarga. Karena saya yakin tindakan emosional yang dilakukan Adam Lanza bukan muncul begitu saja hari itu saat kejadian, tindakan itu bisa jadi merupakan kumpulan emosi kecil-kecil yang sekian lama tidak pernah menjadi perhatian orang tuanya.
Dan contoh Adam Lanza seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Kepada kita semua bagian dari sebuah keluarga untuk merenungi kembali makna sebuah keluarga. Berpikir secara jernih apa tujuan membangun sebuah keluarga? Siapa sebenarnya anak-anak kita? Untuk apa sebenarnya kita mendidik mereka anak-anak kita? Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak? Apakah kita sebagai orang tua cukup memberikan kebutuhan perkembangan fisik dan emosi bagi seorang anak? Apakah kita orang tua tahu benar apa yang sedang terjadi dengan anak-anak kita? Apakah sebenarnya peran kita sebagai orang tua terhadap anak-anak kita?
Dari pemikiran ini bisa jadi mimpi akan demokrasi ideal akan tetap menjadi mimpi bila kita justru meletakkan pembangunan dan pemberdayaan keluarga tidak lebih penting dari perikehidupan kolektif demokrasi itu sendiri….
19 Des 2012
Pitoyo Amrih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H