Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgen! Besaran dan Mekanisme Pengelolaan Dana Desa Perlu Dievaluasi

11 Agustus 2021   08:02 Diperbarui: 14 Agustus 2021   06:11 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dana ratusan juta hingga miliaran dari pemerintah pusat mengalir ke desa setiap tahun, tetapi kenapa perkembangan desa-desa kita seolah berjalan di tempat?"

JIKA disederhanakan, rumus penentuan besaran dana desa (DD) kurang lebih begini: makin terpencil suatu desa maka kemungkinan dana yang diterima pun kian besar. Hal ini dikarenakan makin terpencil sebuah desa, umumnya jumlah masyarakat miskin kian banyak, wilayahnya lebih luas  dan indeks kemahalan konstruksinya pun makin tinggi (PP Nomor 60 Tahun 2014).

Padahal kenyataannya, makin terpencil suatu desa biasanya SDM warga setempat juga kian rendah. Tingkat pendidikan dan pengalaman manajerial perangkatnya masih sangat minim sehingga cukup sulit bagi mereka untuk menemukan ide-ide kreatif agar bisa menghabiskan dana  yang bisa mencapai 2 Miliar/tahun itu. 

Program-program yang diajukan umumnya itu-itu saja atau hanya meniru-niru apa  yang dibuat desa lain tanpa memikirkan lebih matang apakah program tersebut sesuai dengan kebutuhan warga setempat, apakah secara teknis bisa diaplikasikan di lapangan, serta apakah mereka akan sanggup mengerjakannya tepat waktu dan sesuai spesifikasi teknis atau tidak. Yang penting ada proyek agar dana terpakai. 

Ringkasnya: besaran dana desa biasanya berbanding terbalik dengan kualitas SDM pengelolanya, alias di saat dana makin besar, kemampuan aparat yang mengurusnya justru makin kecil sehingga hasilnya pun jauh dari harapan.

Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk meraup keuntungan dari kucuran DD setiap tahun. Mereka datang dengan modus: punya pengaruh di kabupaten, punya pengalaman mengerjakan proyek, punya alat berat yang dibutuhkan, punya kemampuan menyiasati LPJ agar diterima, dan lain-lain. Tak ketinggalan iming-iming fee bagi para pengelola anggaran di desa  dan pengambil kebijakan terkait.

Alhasil... Masyarakat desa pun "teperdaya". Desa seolah-olah dibangun dengan kucuran dana fantastis, padahal kenyataan banyak  mubazirnya dan yang untung hanya segelintir orang bersama oknum-oknum tertentu dari luar desa. 

Setiap tahun warga desa cuma dihadiahkan proyek-proyek infrastruktur asal jadi,  program-program padat karya yang justru dikerjakan kontraktor, longsoran di sana-sini akibat galian tak terencana matang, serakan sampah-sampah beton, serta pekerjaan-pekerjaan tak bermanfaat atau mubazir lainnya. Warga juga kerap tidak tahu berapa nilai DD mereka tahun ini atau dana itu dipakai untuk membiayai program apa saja.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi boleh berpikir ideal tetapi implementasi di tingkat bawah tidak seindah idealisme itu.

Cukup dengan memasukkan kata kunci: proyek dana desa mubazir, rusak, hancur, asal jadi, dan sejenisnya di mesin pencari, maka anda akan disajikan berbagai informasi pembanding dari seluruh Indonesia yang mendukung opini tersebut. 

Oleh karena itu, agar dana tidak terbuang sia-sia dan sebelum masalah kian menumpuk maka faktor SDM kepala maupun perangkat desa harus ikut diperhitungkan dalam penentuan besaran dana desa. 

Bukan meremehkan mereka tapi, menurut hemat saya, perlu ada proses mengasah kemampuan mengelola dana berjumlah kecil sebelum diberi tanggung jawab mengelola uang negara yang lebih besar. 

Ada baiknya besaran anggaran DD dimulai dari jumlah yang terkecil dulu, jangan langsung "disuguhi" dana miliaran seperti saat ini. Kalau pemerintah desa setempat sanggup mengelolanya barulah bertahap ditingkatkan di tahun-tahun mendatang. Sebaliknya jika mereka gagal maka dana desa tahun berikutnya dikurangi sekaligus diberi sanksi agar memacu mereka lebih cermat mengelola anggaran.

Langkah penguatan kapasitas SDM sejak dini sangat diperlukan mengingat kepala desa bisa menjabat selama 3 periode (18 tahun) dan aparatnya bisa terus menjabat hingga berusia 60 tahun (UU Desa, 2014). 

Selanjutnya, sistem pengelolaan DD pun mendesak untuk dibenahi agar mencegah praktik-praktik oknum seperti yang saya utarakan sebelumnya. Pengawasan harus lebih diperketat, baik itu internal maupun eksternal, mengingat mekanisme pengelolaan DD kini sudah mirip sistem manajemen keuangan daerah oleh eksekutif dan legislatif.

Pertanggungjawaban jangan hanya sebatas administrasi di atas kertas tetapi kualitas pekerjaan di lapanganlah yang utama.

Kasus-kasus DD terekspos di Kabupaten TTS, NTT, hingga saat ini bisa menjadi contoh praktis dari apa yang sudah saya uraikan, seperti: dugaan korupsi proyek tiga unit embung senilai Rp. 675 juta di Desa Taebone (2018), baru setahun dibangun tapi satu unit embung senilai Rp. 447 juta di Desa Obaki sudah hancur (2019), proyek irigasi beranggaran Rp. 390 juta di Desa Tuakole yang dikerjakan asal jadi (2020), hancurnya proyek wisata multi-years Bukit Fatuhan berbiaya total ±Rp. 1,5 miliar di Desa Kolbano (2020), dan masih banyak lagi.

Yang masih hangat dari Kabupaten TTS saat ini, banyak kepala desa baru menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) 2020  dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) 2021 pada akhir bulan Juni kemarin, padahal seharusnya di minggu kedua Agustus, paling lambat, dana yang sudah dicairkan mencapai 80%.

Dengan keterlambatan itu, apakah kualitas pekerjaan akan maksimal jika dikebut selama enam bulan tersisa? Apakah dana 1-2 Miliar bisa dihabiskan di desa dengan hasil tepat sasaran  dan sesuai aturan hanya dalam satu semester?

"Saya tidak yakin!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun