[caption caption="Ilustrasi: Penyandang Difabel| Shutterstock"][/caption]Hari Sabtu (21/11/2015), di arena Car Free Day (CFD) jalan El Tari Kota Kupang, berlangsung sebuah kegiatan berbeda. Dipimpin Wakil Walikota Kupang Hermanus Man, 100 penyandang disabilitas (difabel) bersama wartawan, pengusaha, mahasiswa dan lain-lain melakukan jalan sehat di tengah ribuan orang yang memadati area jalan dua lajur itu sejak pagi hari. Kegiatan yang digagas RRI Kupang ini dalam rangka menyambut Hari Disabilitas Internasional 3 Desember.
"Saya minta kita tidak mendiskriminasi orang lain seperti tuna netra, cacat, dan lumpuh," himbau Hermanus dalam acara itu. Beliau juga mengakui masih banyak fasilitas yang seharusnya diadakan bagi difabel seperti trotoar khusus atau toilet khusus.Â
Membaca berita-berita seperti ini, saya sebagai seorang difabel tuna daksa di kota ini senang sekaligus miris. Senang karena pemerintah mau menaruh perhatian terhadap difabel, terlebih kegiatan ini digagas oleh "corong besar" RRI. Miris karena perhatian itu sering hanya seremonial belaka sedangkan dalam prakteknya masih jauh panggang dari api. Bukan sesuatu yang menggembirakan kalau pemerintah berkata akan memperhatikan difabel namun dalam hal-hal sederhana masih lalai untuk memberi kesempatan bagi difabel berinteraksi dan ikut menikmati kesetaraan dengan semua orang tanpa hambatan.
Berikut saya mencoba mengulas beberapa hal sederhana yang menurut saya seharusnya sudah bisa dimulai oleh pemerintah dan masyarakat untuk mendukung kaum penyandang disabilitas. Sebagai batasan, di sini saya hanya menyoroti masalah fasilitas penunjang bagi difabel, lebih khusus lagi difabel tuna daksa (keterbatasan gerak). Saya belum berbicara lebih jauh menyangkut ekonomi, pendidikan, kesehatan dan seterusnya. Saya juga tidak berbicara untuk skop yang luas (Provinsi NTT maupun Indonesia) tetapi hanya menyangkut kota saya, Kupang.
Hampir semua tempat publik di kota ini dibuat dengan konsep seolah hanya akan melayani orang normal. Sedikit kita temui bangunan publik yang dilengkapi sarana untuk menjawab kebutuhan aksesibilitas difabel. Contoh sederhana, hotel terkenal yang sering menjadi tempat menginap Presiden pun tidak saya temui adanya ramp bagi pengguna kursi roda.
Gedung-gedung kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas dan Klinik merupakan fasilitas-fasilitas umum yang sering dikunjungi difabel. Bukan hanya difabel, di sana juga bersileweran pribadi-pribadi yang membutuhkan pelayanan setara difabel, misalnya lansia, ibu hamil, pasien yang sementara memanfaatkan alat bantu kusi roda, tongkat dan sebagainya. Nah, dengan itu gedung-gedung kesehatan harusnya menjadi contoh bangunan yang ramah difabel.
Namun kenyataannya, sebagian besar gedung kesehatan di kota ini belum begitu memperhatikan hal itu. Bahkan Rumah Sakit terbesar di Provinsi NTT yang terletak di Kota Kupang pun masih belum mendukung aktifitas mandiri seorang difabel. Ramp yang tidak memadai, lift, hand rail bahkan lebar pintu pun tidak mempertimbangkan akses pengguna kursi roda. Baca:Â Rumah Sakit ini Belum Bersahabat dengan Kursi Roda.
Â
Beberapa kali saya berurusan di kantor pemerintah seperti Kantor Lurah dan Camat, saya sangat kesulitan di sana. Tidak tersedia ramp sehingga saya harus diangkat bersama kursi roda oleh beberapa orang naik/turun banyak anak tangga. Ada yang menyediakannya tapi tidak memperhitungkan apakah keberadaan ramp mendukung kemandirian seorang difabel atau tidak. Selain licin permukaannya, ramp juga dibuat curam dengan sudut kemiringan 30 derajat bahkan lebih, padahal syarat maksimalnya adalah 6 derajat untuk di luar dan 7 derajat untuk di dalam gedung. Untuk "urusan belakang" (toilet) bisa dibayangkan sendiri, fasilitas yang terletak di bagian depan gedung saja tidak diperhatikan apalagi yang berada di belakang?
Kalau pada tingkat pelayanan umum masih sangat minim perhatian, maka pada tingkat masyarakat perlakuan terhadap difabel lebih buruk lagi. Minim kesadaran dan tak tercipta ruang yang memadai agar terjadi interaksi sosial yang cukup antara difabel dengan masyarakat di lingkungan sekitar.
Pada level keluarga dan masyarakat, umumnya difabel dipandang hanya sebagai tanggung jawab keluarga yang memiliki anggota difabel. Sehingga mereka sendiri yang merasa perlu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan seorang difabel di rumah mereka. Itupun tidak semua memikirkan hal itu. Selebihnya saya yakin bahwa hampir 100% keluarga yang ingin membangun rumah tidak berpikir untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang akan sangat bermanfaat bila suatu saat nanti rumah mereka kedatangan tamu seorang difabel.
Untuk mengatasi hal ini sekaligus memberi kesadaran akan pentingnya kesetaraan, pemerintah bisa memulainya dengan cara mewajibkan setiap orang yang hendak mengurus IMB untuk melengkapi desain rumahnya dengan fasilitas-fasilitas ramah difabel standar. Jika saat ini IMB mewajibkan adanya desain fasilitas khusus misalnya pengolahan limbah rumah tangga, kenapa sarana untuk difabel tidak bisa?
Demikian beberapa hal yang dapat saya ulas untuk saat ini. Perlu dicatat bahwa dengan minimnya fasilitas-fasilitas seperti yang saya uraikan di atas, secara tidak langsung menggiring difabel untuk enggan bersosialisasi dan berbaur di area-area publik. Difabel akan berpikir dua kali saat hendak pergi ke tempat-tempat yang tidak ramah dengan dirinya.
Akhirnya, kalau berbicara mengenai disabilitas dalam lingkup yang sangat sempit saja sudah begitu banyak diskriminasi ditemukan, apalagi untuk skop yang luas? Masih terlalu banyak masalah yang perlu diselesaikan. Semoga pemerintah dan masyarakat segera sadar untuk menaruh perhatian mendalam bagi pemenuhan kebutuhan kaum difabel sebagai sesama umat ciptaan Tuhan yang sejajar dan setara. (PYL)
Â
Sumber foto: lintasntt.com.
Sumber sketsa: Permen PU No 30/PRT/M/2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H