Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pantai Kolbano, (Bekas) Pantai yang Indah (1)

21 November 2012   17:12 Diperbarui: 10 Juni 2016   11:55 2949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_208271" align="aligncenter" width="427" caption="Pantai Kolbano dipotret dari lereng gunung."][/caption]

Desa Kolbano, sebuah desa unik di pantai selatan Pulau Timor, Kabupaten Timor Tengah Selatan-NTT, berjarak sekitar 90 km dari SoE (ibu kota kabupaten) dan 140 km dari Kupang (ibukota provinsi). Mata pencaharian utama warganya adalah petani dan nelayan juga beternak.

Desa Kolbano memiliki sebuah 'Mite' (cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita) yang cukup terkenal di bumi TTS dan Timor umumnya. Mite (mitos) yang sudah ada sejak berabad lalu yaitu kisah "Bi Kabin." Cerita tentang seorang gadis anak manusia bernama Bi Kabin yang menikah dengan Raja Laut (Na' Besimnasi = Buaya). Konon pada jaman dahulu, untuk menjaga kelestarian alam dan hubungan kekerabatan dengan Na' Besimnasi, keluarga Bi Kabin bersama warga desa selalu melakukan ritual tahunan tertentu di pantai ini. Sebagai ucapan terimakasih dari sang Raja Laut, pantai Kolbano selalu dilimpahi kekayaan ikan dan mudah ditangkap tanpa merusak pantai. Hubungan manusia dan alam sangat harmonis. Itu hanyalah dongeng yang masih terdengar hingga sekarang tapi sudah mulai menghilang karena kurangnya perhatian pemerintah lokal dan masyarakat melestarikan budaya lisan itu.

[caption id="attachment_208282" align="aligncenter" width="427" caption="Terumbu karang di laut Kolbano."]

1352425711215796209
1352425711215796209
[/caption]

Dimasa penjajahan Belanda dulu, masyarakat desa ini sudah terkenal idealis. Mereka berani melawan penindasan Belanda lewat kisah heroik "Perang Kolbano", 26 Oktober 1907, yang mana masyarakat dibawah pimpinan 3 orang pahlawan : Boy Kapitan (Boy Boimau), Pehe Neolaka dan Esa Taneo, berhasil membunuh pasukan Belanda. Sebuah kisah yang menghiasi halaman sejarah perjuangan rakyat TTS melawan penjajahan. Ada bukti berupa sebuah tugu peringatan perang Kolbano yang dibuat oleh pemerintah Belanda satu tahun setelah perang itu (1908), namun kondisinya tidak terurus lagi. Tak ada upaya pemerintah memperindahnya untuk menjadi obyek wisata sejarah.

[caption id="attachment_208273" align="aligncenter" width="320" caption="Tugu peringatan perang Kolbano 1907 (dibangun tahun 1908)."]

1352424291113423581
1352424291113423581
[/caption]

Untuk catatan SDM modern, Desa Kolbano tidak ketinggalan mencetak putra-putranya yang berprestasi bukan saja di tingkat kabupaten dan provinsi tapi juga tingkat nasional. Sebagai contoh, desa ini telah menghasilkan 2 orang profesor kenamaan, Prof. Mesakh Taopan dan Prof. Amos Neolaka. Prof. Taopan adalah guru besar pertama Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang sedangkan Prof. Neolaka adalah guru besar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Dalam hal kekayaan alam, desa ini sepintas tidak memiliki sesuatu yang bisa diandalkan. Permukaan yang gersang dan curah hujan yang sedikit tidak jarang membawa bencana kekeringan. Namun sebenarnya banyak potensi besar yang sudah diandalkan sejak dulu dan masih bisa dikembangkan sampai saat ini. Sebut saja lontar (siwalan) dan asam yang populasinya cukup banyak disana. Kedua komoditas ini kalau dikembangkan dan dikelola dengan serius akan mendatangkan penghasilan yang cukup besar bagi masyarakat dan menjadi alternatif sumber penghasilan mana kala curah hujan berkurang yang menyebabkan hasil kebun menurun atau dimusim kemarau.

Pantai Kolbano juga terkenal sebagai penghasil ikan di TTS. Disaat pasokan ikan dari Kupang menurun, biasanya ikan dari Kolbano-lah yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ikan di SoE. Walaupun sejauh ini nelayan Kolbano masih mengandalkan pola tradisionl dengan peralatan seadanya. Dari pengamatan saya, kurang berkembangnya sistim penangkapan ikan disebabkan oleh ganasnya perairan pantai selatan Timor yang langsung berhubungan dengan Samudera Indonesia sementara nelayan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan melaut yang memadai. Nelayan-nelayan hanya bisa melaut di zona aman, tidak jauh dari pantai dengan perahu/sampan-sampan kecil. Hadirnya SMK Perikanan disana beberapa tahun belakangan sejauh ini belum memberikan dampak signifikan bagi peningkatan produksi perikanan Kolbano.

[caption id="attachment_208280" align="aligncenter" width="427" caption="Aktifitas nelayan di Pantai Kolbano."]

13524254331850247411
13524254331850247411
[/caption]

Desa Kolbano bak "surga" kecil yang dikaruniai pantai yang eksotis dengan pusat di Fatu Un. Lokasi wisata dimana sebuah batu setinggi lebih kurang 50 m berdiri megah di pantai yang dihiasi hamburan pasir warna-warni yang sangat menakjubkan. Sejauh mata memandang dari timur ke barat, terhidang pemandangan pantai berpasir putih yang sangat elok. Dibagian timur kita bisa memandang dengan indahnya tanjung Oetuke yang meruncing hingga ke tengah samudera. Ke arah baratpun mata kita dimanjakan dengan hamparan pasir pantai yang tiada duanya. Tanjung Noesiu dari kejauhan terlihat eksotis dari Fatu Un. Jika dikelola dengan profesional, obyek wisata pantai Kolbano bisa menjadi sebuah destinasi wisata nasional bahkan internasional.

[caption id="attachment_208283" align="aligncenter" width="320" caption="Fatu Un yang berdiri dengan kokoh dan megah."]

13524257722010744244
13524257722010744244
[/caption]

Sayang seribu sayang, semua kekayaan alam di atas seakan tidak berguna saat ini. Kekayaan alam itu justru dijadikan incaran pemilik modal dan menjadi komoditas politik para politisi yang lambat laun akan menghancurkan Desa Kolbano. Ciri khas Desa Kolbano hanya akan tinggal kenangan akibat kebijakan pembangunan yang tanpa arah.

Lihat saja, saat ini asam dan lontar tidak diandalkan lagi untuk menjadi sumber penghasilan. Generasi sekarang tidak lagi masuk hutan mengumpulkan asam apalagi berpikir untuk menanam asam. Pohon asam yang sudah berusia tua akan mati dengan sendiri dan jika tidak ada perhatian untuk meregenerasi pohon warisan nenek moyang ini maka beberapa tahun yang akan datang asam hanya tinggal nama. Untuk lontar, generasi sekarang sudah sedikit sekali orang yang bisa memanjat pohon lontar untuk menyadap nira atau memetik buah lontar (saboak). Pemdes membatasi penyadapan nira lontar dengan dalih untuk menghindari masyarakat mabuk-mabukan dengan "laru" (tuak yang dibuat dari nira lontar). Pemerintah bukannya mendorong masyarakat untuk meningkatkan produksi kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan berkualitas seperti gula air, gula lempeng, gula semut, cuka maupun nata de nira (sejenis dengan nata de coco dari kelapa) tapi justru membatasi masyarakat menyadap nira. Tidak ada ide untuk diolah menjadi kuliner modern. Saat ini lontar malah digiatkan sebagai bahan bagunan. Batangnya dibuat menjadi balok untuk bahan membangun rumah. Kalau setiap tahun puluhan hingga ratusan pohon ditebang maka belasan tahun mendatang pohon lontar bisa habis karena untuk tumbuh menjadi pohon lontar dewasa dibutuhkan waktu puluhan tahun. Lagi pula tidak ada upaya meregenerasi lontar secara terencana.

Warga lebih 'didorong' untuk pergi ke pantai menambang pasir dan batu warna-warni. Sejak tahun 90-an, pemerintah membuka keran penambangan pasir yang memanjang dari pantai Noesiu, Kolbano sampai dengan Oetuke dan sekitarnya, hanya menyisakan 100 m di sisi timur dan barat Fatu Un sebagai daerah larang tambang. Sesuatu yang bertolak belakang, disaat pantai ini digembar-gembor sebagai tempat wisata pantai dengan pemandangan indah tapi hanya berjarak seratusan meter dari pusat wisata Fatu Un, kita disuguhi lubang-lubang galian yang dibuat masyarakat penambang untuk mengejar batu dan pasir berkualitas.

[caption id="attachment_208281" align="aligncenter" width="427" caption="Pantai yang acak-acakan akibat penambangan pasir dan batu warna."]

13524255731400222545
13524255731400222545
[/caption]

Tentang harga jangan ditanya, sangat ironis! Bayangkan saja, saya pernah menjumpai pasir Kolbano dijual di mall di Bandung sebagai pasir hias aquarium dengan harga Rp. 10 ribu/ons, sementara di Kolbano pasir seperti itu dibeli hanya dengan harga Rp. 8 ribu/karung (1 karung = 50 kg). Penulis juga pernah menjumpai kerikil Kolbano yang dijual di Surabaya sebagai batu hias taman, harganya Rp. 20 ribu/kg sedangkan di Kolbano penambang dihargai cuma Rp. 4 ribu/karung.

[caption id="attachment_208277" align="aligncenter" width="427" caption="Batu warna pantai Kolbano yang dijual mahal didaerah lain tapi dibeli di Kolbano dengan harga sangat murah."]

Bersambung ke Pantai Kolbano (Bekas) Pantai yang Indah (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun