Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pantai Kolbano, (Bekas) Pantai yang Indah (1)

21 November 2012   17:12 Diperbarui: 10 Juni 2016   11:55 2949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_208283" align="aligncenter" width="320" caption="Fatu Un yang berdiri dengan kokoh dan megah."]

13524257722010744244
13524257722010744244
[/caption]

Sayang seribu sayang, semua kekayaan alam di atas seakan tidak berguna saat ini. Kekayaan alam itu justru dijadikan incaran pemilik modal dan menjadi komoditas politik para politisi yang lambat laun akan menghancurkan Desa Kolbano. Ciri khas Desa Kolbano hanya akan tinggal kenangan akibat kebijakan pembangunan yang tanpa arah.

Lihat saja, saat ini asam dan lontar tidak diandalkan lagi untuk menjadi sumber penghasilan. Generasi sekarang tidak lagi masuk hutan mengumpulkan asam apalagi berpikir untuk menanam asam. Pohon asam yang sudah berusia tua akan mati dengan sendiri dan jika tidak ada perhatian untuk meregenerasi pohon warisan nenek moyang ini maka beberapa tahun yang akan datang asam hanya tinggal nama. Untuk lontar, generasi sekarang sudah sedikit sekali orang yang bisa memanjat pohon lontar untuk menyadap nira atau memetik buah lontar (saboak). Pemdes membatasi penyadapan nira lontar dengan dalih untuk menghindari masyarakat mabuk-mabukan dengan "laru" (tuak yang dibuat dari nira lontar). Pemerintah bukannya mendorong masyarakat untuk meningkatkan produksi kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan berkualitas seperti gula air, gula lempeng, gula semut, cuka maupun nata de nira (sejenis dengan nata de coco dari kelapa) tapi justru membatasi masyarakat menyadap nira. Tidak ada ide untuk diolah menjadi kuliner modern. Saat ini lontar malah digiatkan sebagai bahan bagunan. Batangnya dibuat menjadi balok untuk bahan membangun rumah. Kalau setiap tahun puluhan hingga ratusan pohon ditebang maka belasan tahun mendatang pohon lontar bisa habis karena untuk tumbuh menjadi pohon lontar dewasa dibutuhkan waktu puluhan tahun. Lagi pula tidak ada upaya meregenerasi lontar secara terencana.

Warga lebih 'didorong' untuk pergi ke pantai menambang pasir dan batu warna-warni. Sejak tahun 90-an, pemerintah membuka keran penambangan pasir yang memanjang dari pantai Noesiu, Kolbano sampai dengan Oetuke dan sekitarnya, hanya menyisakan 100 m di sisi timur dan barat Fatu Un sebagai daerah larang tambang. Sesuatu yang bertolak belakang, disaat pantai ini digembar-gembor sebagai tempat wisata pantai dengan pemandangan indah tapi hanya berjarak seratusan meter dari pusat wisata Fatu Un, kita disuguhi lubang-lubang galian yang dibuat masyarakat penambang untuk mengejar batu dan pasir berkualitas.

[caption id="attachment_208281" align="aligncenter" width="427" caption="Pantai yang acak-acakan akibat penambangan pasir dan batu warna."]

13524255731400222545
13524255731400222545
[/caption]

Tentang harga jangan ditanya, sangat ironis! Bayangkan saja, saya pernah menjumpai pasir Kolbano dijual di mall di Bandung sebagai pasir hias aquarium dengan harga Rp. 10 ribu/ons, sementara di Kolbano pasir seperti itu dibeli hanya dengan harga Rp. 8 ribu/karung (1 karung = 50 kg). Penulis juga pernah menjumpai kerikil Kolbano yang dijual di Surabaya sebagai batu hias taman, harganya Rp. 20 ribu/kg sedangkan di Kolbano penambang dihargai cuma Rp. 4 ribu/karung.

[caption id="attachment_208277" align="aligncenter" width="427" caption="Batu warna pantai Kolbano yang dijual mahal didaerah lain tapi dibeli di Kolbano dengan harga sangat murah."]

Bersambung ke Pantai Kolbano (Bekas) Pantai yang Indah (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun