Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penyandang Disabilitas: Dukungan Sosial dan Implementasinya

4 Maret 2014   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325799" align="aligncenter" width="604" caption="Ilustrasi/ Admin (Tribunnews.com)"][/caption]


Empat tahun terakhir saya berjuang melawan penyakit Mielitis Transversa. Penyakit cukup langka yang membawa saya harus menerima status sosial baru yaitu "penyandang disabilitas" (People with disabilities, PwD). Status baru ini membukakan kenyataan akan beratnya perjuangan mendapatkan hak dan martabat sebagai warga berkebutuhan khusus.


Artikel ini kutulis sebagai sebuah refleksi pribadi atas ketimpangan-ketimpangan yang dialami seorang PwD berdasarkan pengalaman, pengamatan dan sharing bersama PwD lainnya.


Keberadaan PwD di negeri ini (lebih khusus NTT), masih dianggap sebagai warga kelas kesekian. PwD seakan hanya menjadi "beban", digolongkan dalam kelompok masyarakat yang tak berguna lagi dan masih terdiskriminasi.


Padahal bila dipandang dengan kaca mata positif, PwD adalah sesama manusia yang juga membutuhkan perlakuan yang wajar dan setara. PwD adalah juga potensi SDM (catatan WHO di negara berkembang jumlahnya mencapai 15% penduduk) yang dapat memberikan kontribusi, setidaknya sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas keberadaan mereka.


Berawal dari keluarga sebagai kelompok masyarakat terdekat dan pondasi pendukung utama. Mindset masyarakat kita yang melankolis cenderung "kasihan" terhadap PwD sehingga berimbas pada pemahaman bahwa PwD sebaiknya hanya di dalam rumah. Memberi kebebasan bagi PwD untuk berkarya dan berekspresi dinilai sebagai sebuah "hukuman" ketimbang penghargaan.


Secara sosial PwD harus melawan stigma bahwa ketidaksempurnaan organ tubuh sama dengan sudah tidak bisa berkarya lagi. Sangat minim dukungan sosial bagi PwD untuk merasa diri berguna bagi sesama. Berikut pengamatanku akan beberapa hal yang cukup berpegaruh bagi eksistensi PwD namun sering luput dari perhatian:


1. Ekonomi.

Keberadaan PwD dalam aspek ekonomi menjadi hal yang dilematis. Di satu sisi dianggap sebagai beban sementara di sisi lain mereka dibatasi dan tidak didukung secara maksimal.


Penetapan syarat sehat jasmani dan rohani dalam perekrutan dan pemberlakuan tenaga kerja menjadi hambatan utamanya. Tenaga kerja dianggap tidak sehat bila menggunakan tongkat, kaca mata hitam atau kursi roda. Keterampilan yang miliki PwD menjadi sia-sia ketika diperhadapkan pada syarat sehat jasmani dan rohani yang batasannyapun tidak begitu jelas.


Sementara di segi lain, berbagai survey dan laporan statistik mengelompokkan PwD sebagai golongan tak berpenghasilan dan warga miskin yang membebani secara ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun