5. Rohani dan Psikologi.
Seyogyanya masalah rohani menjadi pendukung utama manakala secara fisik seseorang mengalami keterbatasan. Namun tidak demikian bagi PwD, hal ini justru menjadi problem tambahan yang cukup pelik.
Masyarakat selalu menganggap bahwa terjadinya kecacatan adalah sebuah masalah "supranatural" ketimbang berpikir bahwa kecacatan adalah sebuah hal lumrah (setiap manusia dan setiap saat bisa mengalami penyakit atau kecelakaan). Misalnya saja, ketika seorang mengalami disabilitas akibat penyakit atau kecelakaan maka itu akan dipandang sebagai sebuah hukuman atas dosa pribadi atau akumulasi dosa nenek moyang sehingga si PwD-lah "dipilih" untuk menanggung dosa-dosa itu. Masyarakat juga cenderung melihat terjadinya kecacatan sebagai efek dari kuasa gelap yang menyerang.
Pandangan seperti ini menggiring PwD tenggelam dalam tekanan rohani dan psikologi dimana ia akan merasa diri sebagai insan yang paling hina dan lemah di dunia. PwD dipaksa berkutat pada "pemberesan" masalah supranatural itu ketimbang bangkit untuk berkarya dengan segala kemampuan dalam keterbatasan.
Itulah beberapa masalah yg menurut saya perlu penanganan bersama. Keterbatasan fisik yang dimiliki PwD hendaklah tidak dijadikan alasan untuk mendiskreditkan dan menganggap mereka tidak berguna. PwD perlu dukungan dari berbagai aspek, dari tingkat keluarga hingga pegambil kebijakan, agar lebih percaya diri dan menemukan identitas sebagai umat ciptaan Tuhan yang setara.
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (UU No. 19 tahun 2011) telah mengatur bagaimana dukungan bagi PwD. Pasal 8 ayat 1 konvensi ini menekankan pentingnya tanggung jawab negara dalam mengambil langkah-langkah cepat, efektif, dan tepat dalam meningkatkan kesadarn masyarakat akan hak-hak PwD, melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik yang mengancam para PwD serta memajukan kesadaran masyarakat atas kemampuan dan kontribusi dari para PwD. Dengan demikian setiap orang, terlepas dari jenis dan keparahan kecacatan (impairment) yang dimiliki mampu menikmati hak-hak mereka yang paling hakiki.
Juga dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 6 mewajibkan pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakan upaya-upaya berupa rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial PwD.
Seharusnya saat ini perlakuan terhadap PwD semakin baik mengingat dekade ini (2010-2020) telah ditetapkan sebagai dekade bagi PwD di seluruh negara ASEAN sejak 2007 melalui Bali Declaration on Disabled Person. Deklarasi bersama yang diharapkan semakin menggugah kepedulian, pengakuan dan penghargaan dalam membantu meningkatkan kualitas hidup kaum disabilitas nyatanya hingga 4 tahun implementasinya masih belum terlihat hasilnya.
PwD juga adalah manusia yang butuh dukungan dan pengakuan. Kaum disabel juga menginginkan penghargaan akan hak dan martabat sebagai sesama warga negara. Mereka hanyalah pribadi yang tidak diberi karunia untuk beraktifitas secara normal. Ada karunia tersendiri dari yang Maha Kuasa bagi PwD yang tidak dimiliki semua orang. Tidak sepantasnya karunia itu dibatasi melalui berbagai bentuk diskriminasi dan pandangan negatif.
Dengan membuka luas ruang interaksi secara publik dan setara, kehadiran PwD akan menambah warna pada kehidupan sosial yang heterogen dan meningkatkan pemahaman masyarakat akan indahnya dunia bila hidup saling mendukung dan menghargai. Masyarakat akan sadar bahwa ada juga keragaman fisik yang perlu dihargai selain warna kulit, bentuk wajah dan jenis rambut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H