Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Pahlawan Itu Perlu Dihargai dengan Pantas (Catatan tentang Perang Kolbano-Timor 1907)

15 Agustus 2014   00:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:31 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seharusnya total yang dibuang 80 orang tapi salah satu laskar bernama Kolo Boimau yang berjuluk Kol Isu melawan ketika hendak dibawa ke atas kapal Belanda yang bersandar di Pantai Kolbano. Ia dibunuh seketika itu juga dan dikuburkan di pantai yang kemudian diberi nama Pantai Kol Isu hingga sekarang.

***

Untuk mencari fakta lain menjawab rasa penasaran seputar perang Kolbano, saya mencoba mencari informasi lewat internet. Bermodal sebuah kalimat berbahasa Belanda yang terukir pada batu nisan monumen perang Kolbano, "Gesneuveld te Kalbano", google membawa saya ke website Tropen Museum Belanda. Di sana saya mendapat sebuah informasi berharga: penghargaan yang besar atas jasa para pahlawan.

[caption id="" align="alignright" width="320" caption="Jejeran tentara Belanda di depan monumen perang Kolbano ketika peletakan krans bunga 1 Oktober 1927 (Dok. Tropen Museum)."][/caption]

Saya mendapati foto-foto yang menunjukkan aktifitas sekelompok tentara Belanda melakukan upacara peletakan krans bunga di monumen perang Kolbano memperingati 20 tahun terbunuhnya tentara-tentara mereka. Dalam keterangannya, peletakan krans bunga itu dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1927.

Walaupun saat itu (1907) Belanda hadir dengan misi utama menjajah dan mengeksploitasi hasil alam kita namun mereka tidak melupakan setiap orang yang telah berjasa bagi mereka. Kurang dari 1 tahun setelah perang Kolbano, pemerintah Hindia Belanda langsung mendirikan monumen tersebut di dekat lokasi tulang belulang para tentara yang tewas. Juga nama mereka diukir pada prasasti lengkap dengan nomor induk ketentaraannya sekalipun mereka yang tewas hanya 2 orang asli Belanda sedangkan 14 lainnya adalah tentara rekrutan dari Pulau Jawa.

Penghargaan bagi mereka yang tewas bukan sebatas membuat monumen untuk memperingati para pasukan yang tewas tapi pemerintah Belanda juga kembali menggelar upacara peringatan 20 tahun perang Kolbano di monumen itu. Saya tidak mendapat informasi setiap berapa tahun mereka datang ke sana untuk mengadakan upacara peletakan bunga hingga Indonesia merdeka. Namun terbukti bahwa Pemerintah Belanda sangat menghargai jasa para "pahlawannya." Catatan perang Kolbano pun menghiasi halaman-halaman sejarah dan ruang-ruang museum Belanda.

Fakta ini terbalik 180 derajat dengan perlakuan bangsa kita terhadap pahlawannya. Walaupun perang Kolbano dikenal sebagai sebuah perang lokal yang cukup berpengaruh dalam usaha mengusir kolonial Belanda khususnya di Timor, hingga saat ini belum ada satupun situs yang dibuat oleh pemerintah sebagai bukti penghargaan terhadap para pahlawan Kolbano dan sebagai cerita bagi anak cucu ke depan tentang heroisme nenek moyang kita. Cerita perang Kolbano pun belum terpublikasi dan diketahui secara luas.

[caption id="" align="alignright" width="320" caption="Tugu perang Kolbano yang dibuat oleh mahasiswa KKN IKIP Kupang tahun 1968 (Dok. Aljhon Boimau)."][/caption]

Lokasi di mana para tentara Belanda dibunuh terdapat sebuah tugu sederhana yang menandai titik terjadinya pembunuhan terhadap para pasukan Belanda. Namun tugu itu luput dari perawatan memadai, hanya dikelilingi semak-semak dan hampir tidak diketahui keberadaannya oleh kebanyakan orang. Tak ada nisan yang mencatat nama mereka yang ditawan Belanda. Yang lebih miris adalah ternyata tugu itu bukan dibangun oleh pemerintah yang peduli akan sejarah perjuangan nenek moyang tapi atas inisiatif mahasiswa-mahasiswa KKN IKIP Kupang (sekarang Universitas Nusa Cendana) tahun 1968 bersama kepala desa saat itu, Wilhelmus Boimau.

Miris memang, ketika membandingkan perlakuan terhadap "pahlawan" oleh bangsa kita dengan bangsa Belanda. Bagi Belanda, setiap jiwa yang berkorban bagi mereka diberi penghargaan dan tempat khusus sementara bagi kita puluhan jiwa sekalipun tak begitu dipikirkan. Jangankan memasukkan kisah perang Kolbano dalam kurikulum sejarah nasional, membangun sebuah monumen peringatan dan mengukir nama mereka dalam sebuah prasasti pun tak ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun