Pembacaan umat Kristiani terhadap tragedi mengerikan warga Hiroshima dan Nagasaki seharusnya tidak berfokus pada pribadi Presiden Amerika tetapi pada orang-orang di kota-kota tersebut. Di sinilah Kristus dapat ditemukan dalam cerita. Ini berlaku untuk semua korban tetapi, dalam konteks Katolik, mungkin lebih mudah untuk melihat dalam konteks Nagasaki, kota para martir.
Fransiskus Xavier tiba di Jepang Barat pada 1540-an dan melakukan perjalanan melalui tempat yang sekarang menjadi prefektur Nagasaki. Misi tersebut berhasil tetapi ketika Toyotomi Hideyoshi mempersatukan Jepang, dia menjadi curiga terhadap pengaruh asing dan mengeluarkan dekrit yang membatasi praktik kekristenan dan mengusir misionaris dari Jepang. Pada 5 Februari 1597, St. Paul Miki, seorang seminaris Yesuit, dan dua puluh lima rekannya, kebanyakan Fransiskan tingkat ketiga, disalibkan di Nagasaki.
Pada 1630 hampir semua ekspresi kekristenan di depan umum telah dihapuskan dari Jepang. Namun, ketika misionaris Katolik kembali ke Jepang, mereka menemukan di dalam dan sekitar Nagasaki orang Kristen tersembunyi Kakure Kirishitan yang mempertahankan unsur-unsur iman tetap hidup selama tiga setengah abad tanpa imam dan sakramen. Banyak dari mereka kembali ke kelompoknya dan menjadi inti dari komunitas Katolik di Urakami, sebuah daerah di Utara Nagasaki.
Santo Maximilian Kolbe melayani di sana pada 1930-an, sebelum dia kembali ke Polandia dan mati sebagai martir, sebuah detiil peristiwa yang digunakan sebagai dasar cerita pendek, "Japan in Warsawa", oleh novelis Katolik Shusaku Endo. Kolbe memperkirakan bahwa pada zamannya, keluar dari populasi 80 juta, kurang dari 100.000 orang Jepang beragama Katolik dan sebanyak 60.000 berada di Nagasaki.
Ketika Katedral Santa Maria Urakami (, Urakami Tenshud) selesai dibangun pada 1925, dia menjadi struktur Kekristenan terbesar tidak hanya di Jepang tetapi di seluruh wilayah Asia-Pasifik. Sedikit catatan, Katedral Urakami dibangun dengan susah payah oleh keturunan orang-orang Kristen yang teraniaya pada akhir abad ke-19. Di Katedral inilah umat beriman berkumpul pada 9 Agustus 1945, mempersiapkan pesta Santa Maria Asumpta. Pukul 11.00, bom atom kedua, "Fat Man", diledakkan di atas Urakami yang hanya berjarak 500 meter dari Katedral. Katedral hancur seketika dan mereka yang sedang berdoa terkubur di bawah reruntuhan. Secara total, antara 40.000 dan 80.000 orang tewas di Nagasaki pada hari itu.
Setidaknya bagi beberapa orang, iman Katolik membantu mereka menanggung cobaan ini. Seorang dokter Katolik, Nagai Takashi yang selamat menggambarkan Nagasaki sebagai "persembahan bakaran utuh di altar pengorbanan, menebus dosa semua bangsa selama PD II". Dalam kata-kata Endo, "di tengah belantara nuklir (Nagai) menjaga hatinya dalam ketenangan dan kedamaian, tidak membenci siapa pun atau mengutuk Tuhan." Katedral Urakami telah dibangun kembali oleh penduduk Nagasaki. Salah satu barang yang tersisa adalah kepala patung kayu Perawan Maria yang setiap tanggal 9 Agustus, kepala yang hangus ini, dibawa dalam prosesi sambil berdoa untuk perdamaian antar bangsa.
Pelajaran dari pembantaian ini dan doa umat di Nagasaki meminta perhatian kita pada kemanusiaan mereka yang menderita. Dalam kata-kata Paus Fransiskus, berbicara di Taman Hiposentrum Bom Atom di Nagasaki, "Salib dan patung Bunda Maria yang rusak ditemukan di Katedral Nagasaki mengingatkan kita sekali lagi akan kengerian tak terkatakan yang diderita secara fisik oleh para korban pengeboman dan keluarga mereka." Wajah korban selalu merupakan wajah Kristus, dan hal ini berlaku di Hiroshima tidak kurang dari Nagasaki, tetapi mungkin lebih mudah dikenali ketika pembunuhan terjadi di Katedral.
Â
Sumber:
Leonie Caldecott, "Oppenheimer and the Lesson of Fat Man", Church Life Journal: A Journal of the McGrath Institute for Church Life, 09 Agustus 2023.
David Albert Jones, "Murder in the Cathedral: The Face of Christ in the Victims of Nagasaki", Church Life Journal, 20 Oktober 2020.