Besok aku ingin pergi ke sebuah tempat yang sunyi. Aku harap tidak ada manusia di sana. Tidak rumah. Tidak ada kopi. Tidak ada rokok. Tidak ada segalanya. Yang kubutuhkan hanyalah pantai dan pesisir panjang, pepohonan kelapa yang tidak terlalu tinggi namun sarat buah.Â
Di tempat itulah aku ingin membangun sebuah vila yang tak berpintu, tak bertembok. Aku tak mau membentengi diri dari panorama samudra yang siapa tahu dapat memberi inspirasi.
Di vila tepi pantai itu, aku membutuhkan kiriman alat tulis dan buku setebal sembilan ratus halaman dari kalian. Aku harap permintaanku ini disanggupi. Kriman itu, akan kujadikan perkamen abadi untuk menulis kisah hidupku bersama wajah-wajah manusia yang kujumpai dalam tahun-tahun hidupku ini.Â
Seperti yang sudah kutulis berkali-kali, "Aku ingin pergi ke tempat terjauh untuk menghadapi diri sendiri". Pergi ke tempat di mana manusia dimusuhi. Aku berfikir, dari tempat itulah aku harus merenungi hidup: aku harus menjadi manusia seperti apa, agar jangan terus disandra wajah-wajah manusia yang indah tapi melukai.
Di vila yang telah kubangun itu, jangan ada nyanyian manusia, bunyi alat musik, atau teriakan-teriakan kegembiraan dan tangisan. Aku berjanji, bahkan mendengungpun aku tak mau.Â
Sengaja kubuat vila itu tak bertembok, agar nyanyian atau suara yang kudengar hanyalah debur ombak, angin pantai, juga elang laut. Sesekali nafas paus yang muncul tiba-tiba di permukaan.
Tapi, bagaimanapun vila itu tidak bertembok, aku juga tak mau dikunjungi satu batang hidung manusia pun. Aku takut mencintai lagi, terluka lagi, dihibur lagi, mencintai lagi, terluka lagi, dihibur lagi, dan seterusnya. Betapa ruang-ruang tempat cinta tinggal dalam diri manusia amat rapuh.
Jika mencintai lagi, artinya melindungi lagi manusia-manusia yang sulit dipahami cinta. Orang asing menjadi kerabat dekat, lalu diasingkan lagi. Keterasingan bukan keutamaan, tapi kebodohan untuk dibodohi orang-orang bodoh, yang mengbaikan cinta dari orang bodoh yang mencintai tanpa interese. Bagaimana berpikir, toh orang asing itu bodoh.
Keterasingan ini bukan soal berlari ke mega-mega galaksi. Namun menuju titik terjauh manusia  bodoh yang mencintai apa adanya, menyayangi apa adanya, jujur pada diri sendiri, dan mati percuma oleh nilai-nilai kebajikan ini: Cinta, Sayang, Jujur. Aneh memang aneh, manusia suka dengan nilai-nilai, hingga akhirnya suka menilai. Nilai itu idealisme yang sewaktu-waktu dilumpuhkan karena tidak terdamaikan dengan pengalaman.
Ahhhhh!!!! Vila idamanku. Aku akan membangunmu kokoh di pinggir pantai yang indah. Darimulah aku akan duduk menulis kisah-kisah hidupku yang penanya tidak dipegang orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H