Dari The Lion, the Witch and the Wardrobe, kini kita beralih ke Prince Caspian yang juga menjadi film dengan visual indah. Prince Caspian adalah yang paling sulit dari semua serial karena tema ketiadaan ada sejak awal: ketiadaan Raja dan Ratu; tidak adanya keindahan, harmoni, dan integrasi semua tingkat ciptaan; Cair Paravel hancur; dan puisi mati. Bukan lanskap beku Penyihir Putih tetapi hilangnya visi dan keyakinan mistis yang disimbolkan dengan tidak adanya Aslan.Â
Hanya Lucy, sebagaimana dalam film, yang melihatnya dan tetap percaya padanya. Yang lain, memutuskan untuk melawan kejahatan, karena mereka tidak bisa lagi mengandalkan kembalinya Aslan. Ini bukan hanya daya pikat Pelagianisme, tapi sesuatu yang pada akhirnya merujuk pada kegagalan iman dan imajinasi. Tidak ada kerajaan yang dapat diselamatkan dari keputusasaan dengan tindakan yang didasarkan pada keputusasaan. Jadi, semua harus belajar bahwa mereka membutuhkan Aslan.
Dalam The Chronicles, Prince Caspian, memberi kita pengalaman yang sangat kontemporer. Jadi, Â bukan hanya karena budaya sekuler kita kehilangan ingatan akan budaya Kristen, tetapi juga munculnya ketiadaan dan keheningan; budaya berkabung, karena imajinasi manusia dengan semua kecerdikan teknologinya pada akhirnya tidak dapat membuat baik ketiadaan itu.Â
Ada realisme dalam Narnia Lewis, kala penduduk asli Narnia dan anak-anak mempelajari apa yang diajarkan ketiadaan. Ketiadaan bukanlah keputusasaan ditinggalkan Aslan, melainkan bagaimana mendengarkan ketiadaan, merindukan kedatangannya kembali, dan menggunakan imajinasi-iman untuk memelihara visi dan daya tahan yang menyertainya.Â
Lewis memberi kita penjaga memori untuk beriman dan berharap, yang kemudian diterjemahkan dalam kondisi kekalahan. Dia meminta kita keberanian yang kreatif, penetrasi intelektual dan imajinatif yang sampai ke 'kronik' nyata Narnia. Aslan memang datang, dia mengaum, kekalahan diubah menjadi kemenangan dan kerajaan dipulihkan. Namun ada pengorbanan karena pencarian belum selesai. Lewis meminta kita untuk melihat 'dunia dalam dunia, Narnia dalam Narnia'.'
Akhirnya, di Narnia, Lewis menawarkan kepada kita tantangan yang hadir dalam iman, dan ini mungkin petunjuk penting untuk situasi di mana Gereja saat ini berada. Ketika dihadapkan pada budaya sekuler yang resisten, godaan bagi Gereja adalah untuk 'mengemas kembali' cerita atau untuk memisahkan dirinya dan hidup dalam batas-batas yang ditentukan dan dipertahankan.Â
Kita harus memahami sifat berkabung. Sifat ini, tentu saja, adalah perjalanan iman terbesar ke dalam malam yang gelap. Tantangan terbesar imajinasi kita bukanlah membayangkan terang tapi kegelapan. Dalam kata-kata Pemazmur, 'Jika aku berbaring di kuburan Kamu ada di sana... ..bahkan kegelapan tidak gelap bagiMu, dan malam sejelas siang.'Â
Ini adalah penemuan kesabaran serta keberanian yang dilimpahkan oleh kesetiaan Tuhan yang menunggu kita di Gua Kota Roti, "Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar", karena "Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah" (Yes. 11:1).
Selamat memasuki masa-masa Adven, momen ketiadaan yang sering terlupakan dalam Kalender Kita (Tulisan Lanjutan)!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H