Meskipun di sekolah aku kurang berprestasi, alias sering juara alpa, namun di kampung aku dikagumi. Aku mampu merekam detil-detil kejadian yang terjadi dalam perkampungan.Â
Tidak heran, mereka menjulukiku kaset kosong. Kadang aku bertanya, mengapa monyet ini tidak bisa menjadi manusia? Dan saya baru menemukan jawabannya baru-baru ini, "Homo Sapiens itu kejam", dia akan membunuh siapa saja yang mengancam survive-nya.
Namun sebelum teori Darwinisme ini muncul, seorang bernama Qin lahir di daerah Zhao sudah berpikir demikian. Qin atau yang akrab disebut Xunsi adalah figur yang hidup seratus tahun setelah Konfusius (313-238 SM).Â
Dialah yang mengintegrasikan pemikiran Konfusius dengan pemikiran "Fa", dengan keyakinan akan sifat dasar manusia yang adalah buruk, "Jika ingin membangun sebuah negara yang kuat haruslah dimulai dengan penyempurnaan diri prilaku manusia". Benar bahwa ajarannya bertentangan dengan Mencius. Namun Xunzi adalah representasi sayap realistik dari ajaran Konfusius.Â
Menurutnya yang baik adalah usaha manusia bukan sifat dasarnya. Dengan menitikberatkan pada sifat dasar manusia yang adalah buruk, kita lalu mengenal apa yang sekarang orang modern sebut sebagai pendidikan, "Orang yang bijaksana bertanggungjawab mengubah sifat asli manusia melalui pendidikan, penyempurnaan diri sendiri serta pembinaan kesusilaaan". Jadi, sementara ajaran Konfusius dan Mencius berkaitan dengan penyempurnaan diri manusia hingga menjadi orang suci (neisheng), Xunzi mengutamakan penyempurnaan diri dengan tujuan pada pembinaan moral (waiwang).
Lantas apa hubungan moral dengan monyet? Sejauh yang kutahu, banyak peneliti behaviorisme sering menjadikan seekor simpanse sebagai objek peneliti. Kata mereka simpanse itu nalurinya jauh lebih kuat dari manusia. Sebetulnya, saya juga belum pernah melihat simpanse dengan mata kepala. Hanya lewat film.Â
Jadi, kalau ada yang bercerita tentang simpanse, abstraksiku adalah monyet. Anggaplah saja, simpanse itu monyet. Frans de Wall, dalam studi moral primat, menyebut bahwa "Jika manusia adalah evolusi dari Primata, maka sifat dasarnya adalah baik.Â
Moral dasar manusia adalah empati, sebagaimana altruisme yang dimunculkan seekor monyet terhadap sesama koleganya (dalam pemahaman yang sangat primitif)". Persoalannya adalah, kisah yang kutulis dalam perkamen ini adalah tentang moyet yang berhasrat menjadi manusia.
Setidaknya sumpah serapahku dulu itu mulai perlahan memudar semenjak aku berjumpa dengan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Annanta Toer. Dan asal kalian tahu, Skripsi Eka Kurniawan pun tentang Pram sewaktu masih studi di UGM.Â
Dalam novel tersebut, Pram menyebut Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers dan tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia (1880- 1918), dengan nama Mingke yang tidak lain adalah Monyet.Â
Si monyet Irlander ini dari semua penggambaran karakternya, yang paling mengesankan adalah posesivitasnya. Ketika telah memiliki sesuatu, dia akan menjaganya, menghormatinya, bahkan jika kalah, dia telah berjuang sehormat-hormatnya.