Mayoritas Muslim Belgia adalah warga negara yang berasal dari pekerja imigran. Mereka memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya. Fakta bahwa mereka memilih menghilangkan bentuk xenofobia politik tertentu.Â
Padahal, di tahun 80-an, retorika xenofobia pada masa pemilu marak di hampir semua partai. Jadi ya, mereka adalah orang Belgia tetapi masih didiskriminasi dan sadar akan fakta tersebut.Â
Meskipun terdapat banyak jalur menuju mobilitas ekonomi dan sosial ke atas, orang Maroko dan Turki masih cenderung tergolong kelas bawah. Persentase orang yang hidup di bawah ambang kemiskinan lima kali lebih tinggi di antara orang-orang yang berasal dari Maroko dan Turki dibandingkan di antara etnis Belgia.Â
Mereka masih tinggal di bagian kota yang miskin bersama arus migran; anak-anak mereka pergi ke sekolah yang gagal dan menemukan diri mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan di pasar kerja.
Dalam situasi genting ini harus ditambahkan bentuk-bentuk diskriminasi tertentu yang menjadi subjek bagi Muslim Belgia, apakah itu dalam akses ke pekerjaan, akomodasi, tempat umum atau bahkan cara mereka diperlakukan oleh lembaga penegak hukum.Â
Tidak masalah, mereka memiliki kartu identitas Belgia; nama dan penampilan fisik mereka sudah cukup untuk membuat mereka stigma. Diskriminasi seperti ini mungkin ilegal tetapi tersebar luas dan kurang lebih laten.
Dalam konteks ini, mengandalkan Islam baik sebagai agama maupun budaya menjadi sangat penting. Generasi pertama yang tiba menemukan di dalamnya pelipur lara tetapi mereka berlatih secara diam-diam, fokus pada pengintegrasian diri ke dalam masyarakat. Anak-anak mereka secara sipil terintegrasi ke dalam masyarakat tetapi ingin mempertahankan identitas sendiri.Â
Jadi mereka menuntut pengakuan atas keragaman budaya. Di sinilah muncul pertanyaan tentang visibilitas Islam di alun-alun, yang seringkali terpusat pada pertanyaan tentang pemakaian cadar.Â
Orang-orang yang memenuhi syarat dalam mencari pekerjaan tidak ragu-ragu menambahkan kesulitan ini ke dalam bentuk-bentuk diskriminasi lain yang telah mereka derita berdasarkan nama mereka.Â
Kaum muda Muslim tidak lagi siap untuk tetap menunduk untuk berbaur dengan masyarakat yang akan meminggirkan mereka apapun yang mereka lakukan. Untuk mendramatisasi opini-opini yang bertentangan, kepada orang Belgia 'di jalanan' yang berkata: 'mereka ada di negara kita, jadi mereka harus hidup seperti kita', Muslim Belgia menjawab: 'Kita berada di negara kita; biarkan kami menjadi diri kami sendiri. '
Untuk memberikan gambaran yang lengkap, konteks internasional harus disebutkan. Tak dapat sdisangkal, 09 November memengaruhi opini publik, berkontribusi pada evolusi apa yang kemudian dikenal Islamofobia, 'Maroko' menjadi 'Arab-Muslim'.Â