Pada 2015, Paus Fransiskus menunjungi rumah populasi Katolik terbesar ketiga di dunia, Filipina. Dalam misa bersama para korban Topan Haiyan, Paus Fransiskus berkata, "Saya datang memberitahumu bahwa Yesus adalah Tuhan. Dan dia tidak pernah mengecewakan kita."Â
Memang Penderitaan bukanlah anomali bagi orang Filipina. Penderitaan menandai abad kolonial Filipina dan sejarah kontemporer. Tetapi penderitaan ini tidak memengaruhi religiusitas umat Katolik Filipina. Dari politik hingga pendidikan, Katolik merasuki sebagian besar masyarakat Filipina. Terlepas dari kehadiran misionaris di Cina dan Jepang, agama Kristen secara historis berjuang meletakkan akar spiritual di Filipina.
Kolonialisasi
Spanyol tiba di Filipina pada 1521 saat lebih dari 100 kelompok etnolinguistik menduduki 7.000 pulau. Meskipun belum satu negara, pulau-pulau tersebut terhubung melalui jalur perdagangan dan budak. Pulau-pulau itu pun penuh keragaman agama. Suku Ifugao di Luzon utara, Tagalog di Luzon selatan, Visayan di pulau-pulau tengah, dan berbagai komunitas adat di Mindanao masing-masing memiliki kosmologi, kode etik, dan cara beribadah sendiri.
Penduduk pertama kali bersentuhan dengan Katolik ketika Ferdinand Magellan dan krunya muncul sebagai ras kolonial abad XVI yang memperebutkan sumber daya dan Kristenisasi wilayah. Setelah bertemu Magellan, Rajah Humabon, penguasa pulau Cebu dan rakyatnya memeluk agama Kristen. Tetapi perlawanan lokal di Pulau Mactan yang berdekatan, dipimpin penguasanya, Lapu-Lapu, menyebabkan kematian Magellan dan rekan-rekannya.
Meskipun Magellan meninggal, Spanyol mengirim ekspedisi lain kembali ke Filipina. Seiring berlalunya abad, ekspedisi menjadi semakin penting bagi Spanyol: sumber pendapatan baru dan penting bagi kekaisaran. Itu adalah perjalanan Ruy Lopez de Villalobos pada 1543 yang menamai pulau-pulau itu Filipina, untuk menghormati Raja Spanyol Philip II. Hubungan Spanyol dan Filipina diperkuat setelah Miguel Lopez de Legazpi menemukan rute antara pulau-pulau dan Meksiko. Legazpi mendirikan pos Spanyol permanen di Manila pada 1571 dan memutuskan bahwa pulau itu akan menjadi ibu kota koloni baru.
Legazpi membangun Manila khas Eropa: alun-alun, katedral, dan kantor publik tempat. Namun, hanya orang Spanyol yang tinggal dalam kota bertembok itu. Penduduk asli, indios, pindah ke tempat lain. Evangelisasi indios adalah misi kekaisaran. Dipimpin Pastor Urdaneta, para biarawan Augustinian Spanyol pindah dari Meksiko ke Filipina atas permintaan Philip II dan menjadi misionaris Katolik resmi pertama di negara itu.
Pola evangelisasi pastor Katolik standar. Spanyol merelokasi penduduk asli dari pegunungan ke dataran rendah. Gereja-gereja di seluruh negeri dibangun, dan sebuah undang-undang yang memaksa pria berusia 16 hingga 60 tahun bekerja bagi gubernur atau pastor paroki.Â
Para pastor juga menjadi administrator de facto rezim Spanyol di kota-kota tempat mereka ditugaskan. Ini membuat mereka sangat kuat, bahkan melawan otoritas sekuler setempat. Mengingat jumlah misionaris dan administrator yang sedikit, kebijakan tersebut membuat pemerintahan dan pendidikan agama menjadi efisien.
Meskipun pengurangan bersifat memaksa, penginjilan Katolik tidak selalu demikian. Baptisan massal tidak hanya karena seorang datu (pemimpin setempat) bertobat. Meskipun beberapa misionaris menghancurkan patung (Larawan), mayoritas bergantung pada bujukan tanpa kekerasan untuk meyakinkan para mualaf lokal meninggalkan ibadah dan praktik adat mereka.Â
Kristenisasi negara lebih dari sekadar perubahan hati rakyat; konversi termasuk perubahan gaya hidup. Para biarawan mewajibkan setiap penduduk mempelajari Doctrina Cristiana. Para pemimpin Gereja mengajarkan katekisasi. Dan biarawan memastikan ajaran Kristen mengambil alih kepercayaan masyarakat adat tentang restitusi, moralitas seksual, dan penyembahan alam. Poligami dan perbudakan, misalnya, harus ditinggalkan sebelum dibaptis.