Dear Friend!
Bagaimana kabarmu,
Tentu kamu memiliki banyak waktu luang di masa liburan ini. Setidaknya, seperti yang kualami---menghabiskan waktu untuk menulis surat untukmu. Entah yang ke berapa, aku tak tahu.
Sahabatku! Suatu ketika dalam sebuah perkuliahan tentang pemikir-pemikir Indonesia, di ujian akhir, dalam bentuk Paper, saya berkesempatan menulis tentang Pramoedya. Namun mungkin menulis tentang Pram, tidak dapat memperkaya. Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis Pram dalam perbandingannya dengan Uskup Sao Felix, Mgr. Pedro Casaldaliga, CMF.Â
Tulisan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam jurnal yang bertemakan bersastra pembebasan. Seorang teman di kampus, kemudian tertarik lalu mengajak berdiskusi. Dia menyarankan saya untuk mengeksplorasi pemahaman ke sastra namun yang lebih humanis.Â
Di situ, dia menyebut Gerard Hopkins, eks Anglikan yang lalu bergabung dengan Yesuit. Memang jika dengan standar Yesuit abad XIX, Gerard Hopkins pasti tampak biasa. Yang membuat saya tertarik adalah soal kematiannya akibat Tipus pada 1889, dengan usia yang masih sangat produktif, 44 tahun di Irlandia. Dia, tentu saja, juga seorang penyair seperti Pram dan Casaldaliga.
Robert Bridges pada 1989 pun pernah menerbitkan volume yang berisi sebagian besar puisi Hopkins. Saya yakin, keluarga Jesuit bangga dengannya. Di mana pun ia berada di antara penyair Inggris abad ke-19, ia pasti yang paling khas, "seorang penyair Jesuit daripada seorang penyair yang kebetulan menjadi Jesuit" tulis Alfred Thomas dalam Hopkins the Jesuit.Â
Sayangnya, betapa sedikit penelitian arsip yang cermat dari teman saya ini tentang mengapa Hopkins menarik untuk dipelajari. Saya menduga, mungkin karena bagi publik sekuler, Hopkins eksotis: puisinya menjadi terkenal bersamaan dengan pembaruan teologi dan spiritualitas yang mencapai puncak dalam Vatikan II. Perkembangan ini tentunya memengaruhi cara orang Katolik membaca Hopkins (seperti teman saya).Â
Layaknya para Jesuit mulai memikirkan Ignatius bukan hanya sebagai seorang disiplin militeristik tetapi lebih sebagai seorang humanis liberal, kontemplatif dalam tindakan, dan yang dapat menemukan Tuhan dalam segala hal, demikianlah Hopkins memberi makan perubahan yang lebih luas dalam kepekaan religius.
Untuk sebagian besar, puisi  Hopkins memiliki judul pendek dan ekspresif: 'Hurrahing in Harvest', atau 'The Windhover', atau 'The Lantern out of Doors'. Judul-judul seperti itu memiliki kedekatan yang mengundang pembaca mendengar apa yang didengar penyair. Dalam keputusasaanya kala puisinya 'The Wreck of the Deutschland ' ditolak oleh The Month, Hopkins mengatakan:
"Ketika seseorang telah memberikan dirinya untuk pelayanan Tuhan, ketika ia telah menyangkal dirinya sendiri dan mengikuti Kristus, ia telah menyesuaikan diri untuk menerima dari Allah bimbingan khusus, pemeliharaan yang lebih khusus. Jika saya menunggu bimbingan semacam itu, melalui saluran apa pun yang disampaikan, tentang apa pun, tentang puisi saya misalnya, saya melakukan lebih bijak dalam segala hal daripada mencoba melayani minat saya sendiri. Sekarang, jika Anda menghargai apa yang saya tulis, jika saya melakukannya sendiri, Tuhan lebih dari itu.".
Hopkins menulis perikop ini mungkin pada peringatan seratus tahun kesyahidan Campion, 1 Desember 1881, dengan maksud menunjukkan bahwa puisi-puisinya adalah milik Allah.
Dari diskusi yang cukup panjang itu, Akhirnya saya mulai tertarik untuk membaca puisi-puisi Hopkins khususnya 'The Blessed Virgin compared to the Air we Breathe'.Â
Puisi ini ditulisnya dalam bulan Maria, Mei, dan memiliki daya tarik yang kurang langsung, bertele-tele, dan tampaknya hampir dibuat-buat. Saya saat itu bertanya, "Apakah ini puisi atau risalah teologis?"
Memang tidak dapat dipungkiri, Bunda Maria menawarkan sumber inspirasi bagi bakat sastra dan seni. 'May Magnificat' Hopkins  menegaskan tesis tersebut.Â
Namun bukan puisi ini yang saya maksudkan, namun, 'The Blessed Virgin compared to the Air we Breathe'. Dipenuhi dengan pemikiran yang mendalam, sintaksis kreatif, dan perbendaharaan kata yang sangat orisinal, puisi itu mungkin dianggap terlalu panjang dan berbelit-belit.Â
Dengan kuplet tiga kaki yang berirama dan kembar tiga, relatif mudah dibaca dengan keras, tetapi isinya tidak selalu mudah. Namun harus dikatakan bahwa 'The Blessed Virgin compared to the Air we Breathe' sangat relevan, karena belas kasihan adalah tema utamanya.
Sahabatku! Adalah sebuah niscaya, bahwa para dewa zaman dulu ditakuti daripada dicintai. Bahwa orang-orang berusaha menghilangkan amarah, dendam, dan kehancuran dengan mempersembahkan kurban dan doa, dengan mematuhi 'perintah' dan menjalani kehidupan yang 'baik'.Â
Dalam Kitab-kitab Ibrani, konsep-konsep seperti hesed (kebaikan) dan emeth (kesetiaan) menunjuk pada keterbukaan bertahap dalam Yudaisme tentang gagasan Tuhan yang murah hati.Â
Tetapi dengan munculnya agama Kristen maka belas kasihan, kasih Allah, menjadi aspirasi utama agama di dunia Barat, terutama yang paling populer dalam seni Kristen adalah gambar Bunda Berbelaskasih. Dalam baitnya, Hopkins menulis,
She, wild web, wondrous robe,
Mantles the guilty globe'.
She is the one who surrounds us all with the 'air' of mercy: '... we are wound,
With mercy round and round
As if with air'.'.
Di zaman kita, di tengah terorisme global, konflik, penghancuran kemiskinan dan degradasi ekologis, lebih-lebih wabah pandemi, hampir tidak ada pesan yang lebih menghibur, selain bercerita tentang Maria.Â
Menurut Hopkins, Maria adalah 'ibu', karena dari awal Kekristenan, peran kosmik Kristus, sebagaimana diisyaratkan dalam puisinya, diyakini telah dibagikan oleh Maria: Firman Tuhan mengambil bentuk manusia. Melalui Maria kita melihat 'Ketuhanan Allah, Berkecil hingga Bayi'.Â
Maria membawa Tuhan ke orbit manusia; dia adalah 'udara keibuan dunia' yang mengelilingi kita---ini mirip dengan kata-kata Kathleen Raine 'Northumbrian Sequence IV', Allah yang agung tersembunyi dari pandangan manusia di '... kesendirian ... langit yang belum tersentuh ... kesunyian raksasa Kosmos', memasuki dunia.Â
Surat kepada orang Ibrani mengatakan dalam prolognya bahwa Kristus sebagai '... cahaya kemuliaan Allah ... menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan'. Yang mengagumkan, menurut Hopkins, 'kemuliaan telanjang' dapat membutakan manusia. Tangan Marialah yang menyaring' cahaya yang bersinar' agar sesuai dengan pandangan manusia--- sebuah kepekaan keibuan.
Sahabatku! Cerita tentang Hopkins dan Maria, memang menjenuhkan seperti puisinya. Namun kita tidak menyangka, bahwa puisi Hopkins adalah simbol kualitas sakral dan mistis, yang keduanya menggunakan pendekatan keibuan terhadap misteri pamungkas, yaitu Tuhan. Hopkins, dalam 'The Blessed Virgin', melihat Maria sebagai konteks untuk ekspresi puitis dari misteri yang menyatukan manusia dan Tuhan. Inilah yang sejatinya saya rindukan untuk diceritakan kepadamu.
Petrus Pit Duka Karwayu
26 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H