Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cigarette Wars

23 Mei 2020   09:19 Diperbarui: 23 Mei 2020   09:10 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahabatku, bagaimana keadaanmu saat ini?

Situasi pandemi membuat banyak orang yang bertahan di rumah jenuh dan menghidupi hari dengan ragam kreativitas. Ada yang Youtuber, TikTokers, atau hanya mengisi waktu dengan belajar dan berdoa sembari bekerja dan berolahraga secukupnya. Aku harap kamu juga demikian. Juga aku berharap, sesibuk-sibuknya kamu, tolong beri waktu sebentar saja untuk membaca suratku.

Pada 1999, Cassandra Tate menulis sebuah buku berjudul Cigarette Wars---  judul buku yang kupasang di kepala surat ini tanpa pertimbangan. Tanpa pertimbangan yang kumaksudkan seperti seorang perempuan yang menerima begitu saja peringatan "wanita dilarang merokok"---padahal di beberapa tempat seruan Give a feminist Cigarette berderu hebat.

Bila kamu membaca buku tersebut, pastikan jangan lewatkan cerita tentang Mary Elizabeth Haggerty  yang menghisap rokok Kool pertamanya pada 1936 di usia 14 tahun. Kool berujung filter yang terbuat dari gabus telah menemani Mary selama lima puluh tahun. 

Bagi Mary hidup sebagai perokok, dan kenangan di usia empat belas tahun, merupakan tarian kebahagiaan apalagi bila dilakukan di atap hotel di Dallas, Texas, yang jaraknya 400 mil dari rumahnya di kota kecil Dumas. 

Dia ingat perasaan dan gemerisik gaun taffeta hijau apel yang dia kenakan, bagaimana lampu kota terlihat dari atap hotel, janji petualangan yang sepertinya menggantung di udara malam. Tate bercerita, bahwa pada kesempatan tertentu Mary pergi ke pesta dansa dengan tiga teman, yang salah satunya membawa sebungkus Kool. Teman itu menarik rokok dari tasnya dan mulai membagi-bagi. Saat rokok tengah di edar dan dinyalakan, seorang pemuda  mulai melakukan pengamatan:

''Kalian belum lama merokok, kan? Nah, belajarlah untuk menyalakan ujung yang tepat," sarannya.

Dalam pencahayaan redup di atap, Mary dan ketiga sahabatnya berhasil menyalakan filter gabus mereka. Namun Mary tidak merokok lagi selama beberapa waktu dan menjadi perokok biasa di awal 1940-an, zaman keemasan untuk rokok, ketika seolah-olah 'semua orang' merokok. Padahal, rokok tidak pernah menjadi kebiasaan mayoritas di Amerika Serikat. Bahkan pada puncak Zaman Rokok 1965, hanya 42 persen orang dewasa Amerika yang merokok.

Sahabatku! 

Memang untuk orang-orang seperti Mary, merasa bahwa rokok tertanam dalam lanskap budaya. Mereka hampir ada di mana-mana: di papan iklan, di film, di radio, majalah dan surat kabar, termasuk novel. Mungkin kamu masih ingat, kalau pahlawan detektif dalam sebuah novel hampir tidak dapat bergerak dari satu halaman ke halaman berikutnya tanpa mencari, mengeluarkan, menyalakan, menghirup dalam-dalam, menggiling, atau membuang rokok. 

Bahkan di kalangan bukan perokok, rokok diterima sebagai lambang modernitas dan kecanggihan. Dan memang pada waktu itu, sebagian masyarakat manusia di dunia merokok. Itu dialami Mary sewaktu pergi ke pesta makan malam di mana setiap pengaturan tempat menyertakan asbak individu dengan tiga batang rokok di dalamnya. 

Para tamu tidak diwajibkan merokok, tetapi tidak ada yang menolak mereka yang melakukannya. Dalam kebiasaan-kebiasaan tertentu dapat dijumpai gadis-gadis 'baik' tidak merokok saat berjalan di jalan, juga seorang pria selalu menyalakan rokok seorang wanita sebelum miliknya sendiri sebagai kesantunan. Yang terpenting kala itu, perokok selalu meminta izin ''Apakah Anda keberatan jika saya merokok?".

Sahabatku! 

Hal ini berbanding terbalik dengan zaman kita. Ada beberapa tempat merokok tidak diizinkan: di ruang kelas, pesawat terbang, tempat tidur rumah sakit, dan para penyiar di televisi. Pada saat Mary mengisap rokok terakhirnya, tak lama sebelum kematiannya pada tahun 1994, ia menjadi bagian dari minoritas yang semakin menyusut dan semakin bermasalah. Jumlah perokok dalam populasi orang dewasa turun menjadi sekitar 25 persen, dan orang yang bukan perokok menjadi lebih tegas dalam mempertahankan hak mereka untuk menghirup udara yang tidak tercemar. 

Tampaknya, sahabatku, hanya ada dua jenis perokok yang tersisa: yang muda dan yang pasti, yang tua dan yang defensif. Bila hendak merokok, mereka akan mundur ke bagian belakang pesawat, ke tangga belakang di kantor, ke teras belakang di pesta makan malam --- dan kemudian bahkan menemukan beberapa tempat yang tertutup bagi mereka. 

Perokok mengalami banyak permusuhan satu abad yang lalu. Laki-laki yang terhormat merokok pipa atau cerutu dan wanita terhormat tidak merokok sama sekali. Rokok dianggap baru dalam masyarakat yang belum menghargai kebaruan demi kebaruan. Ia dikaitkan dengan imigran atau dalam usia xenophobia yang tampaknya membentuk kebiasaan, "perempuan tidak seharusnya merokok". 

Etos kelas menengah Amerika mengutuk orang yang sensual dan mencurigai orang asing. Rokok mewakili keduanya. Rokok dibatasi secara hukum dan juga distigmatisasi sosial. Antara tahun 1890 dan 1930, lima belas negara memberlakukan undang-undang melarang penjualan, pembuatan, kepemilikan, atau konsumen rokok, dan tidak kurang dari dua puluh dua negara bagian dan teritori lain yang mempertimbangkan undang-undang tersebut.

Lucu memang, bila menjelang 1920, anak di bawah umur hanya bisa membeli rokok di Virginia dan Rhode Island. Banyak kota memberlakukan pembatasan lebih lanjut, dari membuatnya ilegal bagi perempuan untuk merokok di depan umum, di sekitar gedung sekolah, hingga melarang jenis iklan tertentu. 

Perokok mengalami diskriminasi di ruang sidang, di tempat kerja, dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 1904, misalnya, seorang hakim di New York memutuskan penjara bagi seorang wanita selama tiga puluh hari karena merokok di depan anak-anaknya. Beberapa tahun kemudian, seorang wanita Seattle memenangkan perceraian dengan alasan bahwa suaminya adalah "seorang perokok". 

Seorang wanita New York mengambil tindakan pencegahan mewajibkannya "untuk menandatangani perjanjian pranikah untuk tidak akan merokok". Di sisi lain, banyak perusahaan, besar dan kecil, menolak untuk mempekerjakan perokok. Pekerja yang menuruti keinginannya sendiri bisa kehilangan pekerjaan. Dan semua itu terjadi kala diketahui bahwa biangkerok dari epidemi kangker paru-paru adalah tembakau.

Sahabatku! 

Mungkin kamu akan kaget bila aku menutup surat ini dengan bertanya padamu, "siapa Mary Elizabeth Haggerty?" Mary sebetulnya adalah ibu dari Cassandra Tate sendiri. Maksudku, si Tate membaca sejarah peradaban dengan kaca mata ibunya tentang epidemi kangker paru-paru, bukan dengan pemahamannya--- karena keterancaman kelangsungan spesies manusia membuat kita gampang menuduh kelompok tertentu: Islam di mata media Indoneisa distigma melalui pemberitaan yang memprovokasi! Please Stop it: media harus mengedukasi bukan memprovokasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun