Sahabatku! Bukan sesuatu yang baru kalau bercerita tentang The Adventure of Merlin. Aku sering tersenyum bila ada yang mengatakan kisah tersebut diambil dari legenda Arthurian yang ditulis pertama kali dalam puisi Welsh dan penggambaran karakter Merlin dalam karya Geoffrey de Monmouth Historia Regum Britanniae (1135). Tidak salah, namun tidak lengkap. Dan seperti surat-suratku sebelumnya, yang kutulis penuh pemberontakan, aku ingin mendongeng lagi untukmu, yang lengkap, tidak setengah-setengah. Aku ingin hanya kamu yang memilikinya.
Mungkin pernah dalam suatu kesempatan, aku bercerita bahwa dari semua romansa Abad Pertengahan, tidak ada yang lebih populer di seluruh Eropa selain romansa Arthurian. Bahkan saat dibawa ke dalam literatur Prancis, legenda Arthurian menjadi bacaan memikat sepanjang abad XII-XIII, karena menampilkan persahabatan Arthur sang Raja dan Merlin sang penyihir. Sayangnya, ini legenda bukan historis--- Merlin mungkin tidak pernah melihat Arthur.
Merlin si penyihir, campuran seorang nabi dan orang buas yang dibesarkan di hutan, di pinggiran masyarakat, tampaknya buah dari imajinasi Geoffrey de Monmouth. Kemungkinan, Geoffrey mengambilnya dari legenda lokal atau dari karya-karya sejarah Nennius, sastrawan sebelum Geoffrey. Sejarawan imajinatif ini, menciptakan asal usul Merlin seolah a'historis (dibaca: "tidak dalam sejarah"):
"Konon, setelah Tuhan menyelamatkan dunia dari neraka, iblis-iblis marah lalu mengadakan konsili agung untuk merebut kembali apa yang telah hilang, dan bertekad menghadirkan seseorang yang dapat melaksanakan kehendak mereka. Iblis yang menyarankan rencana itu segera bergegas kepada istri dari seorang pria kaya dengan tiga anak perempuan dan satu orang putra. Disitu, iblis mencekik sang putra, membuat istri gantung diri, dan karenanya orang kaya mati karena kesedihan. Dari tiga anak perempuan, satu dirayu dan dihukum untuk dikubur hidup-hidup, yang lain menjadi wanita biasa, sementara yang tertua, setelah menahan berbagai godaan selama dua tahun, akhirnya tertipu pada suatu malam oleh iblis dalam tidurnya. Dalam kesusahannya dia pergi ke penasihat spiritualnya. Pada awalnya, si penasihat tidak menaruh kepercayaan yang besar. Gadis itu kemudian diam di menara yang kuat sampai anaknya lahir, Merlin."
Sahabatku! Sekarang kamu tahu bahwa cerita Merlin pertama bukan dalam Historia regum Britanniae. Geoffrey menulis tokoh itu dalam Vita Merlini (1150), yang mana Merlin sang protagonis menampilkan dirinya sebagai nabi yang hidup pada abad VI di Inggris utara. Geoffrey juga memperkaya data cerita rakyat atau tradisi historiografi dengan menggunakan unsur-unsur klasik. Berikut ini akan aku tunjukkan padamu dua nubuat Merlin yang kalau dibaca dalam konteks kita begitu mengerikan:
 "Cacing Jerman akan ditinggikan oleh singa laut dan akan ditemani oleh hutan-hutan Afrika. Agama akan dihancurkan untuk kedua kalinya dan kursi primata akan berubah. Hujan darah dan kelaparan yang mengerikan akan menimpa umat manusia. Naga merah akan mengerang, tetapi, setelah begitu banyak kemalangan, ia akan mendapatkan kembali kekuatannya"
"Seorang raja suci akan memperlengkapi armada, dan akan dianggap sebagai yang kedua belas di pengadilan yang diberkati. Kehancuran menyedihkan akan memerintah kerajaan, dan usia panen akan menjadi hutan yang tidak bisa ditembus. Naga putih akan bangkit kembali, dan akan mengundang Putri Germania. Ladang kita akan diisi dengan benih asing dan naga merah akan merana di salah satu ujung kolam."
Memang nubuat Merlin ini  membutuhkan penerjemah, setidaknya sampai abad XVI. Namun sahabatku, Vita Merlini, puisi yang sangat panjang itu, menampilkan karakter protagonisnya sangat berbeda dari yang disajikan regum Historia Britanniae. Dalam karya ini, Geoffrey telah mengadaptasi nama Myrddin, kepada sosok nabi muda yang membingungkan para penyihir Vortigern. Di Vita, Merlin hidup lama kemudian: ketika dia bertarung di Cumbria pada tahun 575, ia menjadi gila dan pergi untuk tinggal di hutan. Menurut legenda, orang-orang Inggris kuno memanggil Merlin "Silvestre" karena dia hidup bersama satwa liar sampai mati. Baru disitulah diberi keterangan bahwa Merlin ini hidup pada zaman Raja Arthur. Dengan demikian, Merlin dalam tradisi Arthurian merupakan perpaduan dua karakter, yakni peramal dan penyihir, penikmat masa lalu, sekarang dan masa depan, yang tersembunyi dan yang terlihat, tetapi juga mampu mengangkut batu Stonehenge ratusan mil jauhnya melalui pengetahuan seni magisnya. Tetapi yang menarik soal pelarian diri Merlin ke hutan.
Sahabatku! Kamu tentu tahu bahwa hutan merupakan tempat kebiasaan semua narasi cerita rakyat klasik. Dalam akar dongeng sejarah, kamu dapat membaca bahwa hutan selalu "padat, gelap, misterius, sedikit konvensional, dan tidak sepenuhnya masuk akal". Dan bahwa di sepanjang jalan, kita akan mencapai upacara inisiasi dan karena itu menuju pada konsepsi tertentu tentang akhirat: "jalan menuju dunia berikutnya melewati hutan". Dan memang dalam novel Arthurian, "pahlawan dilahirkan dan dibesarkan di hutan, Â dan akan kembali kepadanya ketika mereka gagal dalam petualangan, mencari perlindungan, atau menjadi gila. Bagi manusia Abad Pertengahan, itu adalah tempat kekuatan yang paling mengerikan: tidak ada aturan, di dalamnya semua jenis keajaiban dapat terjadi, dan kadang-kadang ia akan memberikan ngelmu untuk begitu banyak upaya".
Tapi sekali lagi tentang hutan sahabatku. Di atas segalanya, hutan juga adalah kesendirian yang tak terbatas. Tidak ada yang akan tinggal di sana, kecuali dia gila, karena hanya orang gila yang berani pergi ke dunia orang mati.
Sayangnya, Robert de Boron melakukan metamorfosis terhadap Merlin ini. Dalam pendekatannya, Merlin menjadi pemancar janji-janji ilahi dan satu-satunya yang mampu membuat rancangan Allah dilaksanakan dengan cara yang ada dalam benaknya. Pada saat itu, Merlin adalah karakter Arthurian dan hampir tidak ada yang ingat peramal yang hidup di zaman Vortigern. Kepentingan kristenisasi Robert de Boron sangat jelas. Seolah-olah Merlin menjadi seorang penyihir Kristen terlepas dari kenyataan bahwa iblis menjadikannya seorang Antikristus. Setelah Robert de Boron menulis triloginya, Merlin kehilangan peran yang relevan--- Kristenisasi tema-tema yang diprovokasi Robert de Boron membuat penyihir-peramal diturunkan oleh asalnya yang jahat, yang jelas mencegahnya dari pendekatan apa pun ke Holy Grail. Di sisi lain, penyihir dan peramal - yang sudah berusia terbukti - jatuh cinta dengan Maiden atau Lady of the Lake, mentransmisikan semua pengetahuannya dan menjadi korban pesona dirinya sendiri. Inilah akhir yang menanti di ujung legenda tentang Merlin dan yang menjadi cikal bakal frasa Amor omnia vincit, "cinta mengalahkan segalanya", yang terkenal dalam banyak novelis Abad Pertengahan sampai saat ini.