Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Amerika Latin dan Hollywood

2 Maret 2020   08:46 Diperbarui: 2 Maret 2020   08:47 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: stretchless.com

Melepas Cangkang Lama

Memasuki awal abad XX industri film menjadi amat laris dalam dunia estetika karena dianggap sebagai bentuk seni terbaru atau media terbaru penyebaran budaya dan informasi. Industri film menyajikan media sempurna bagi seniman, produser, aktor, dan sutradara untuk mengejar jalan eksplorasi baru. 

Yang menarik kala itu, setiap negara khususnya masyarakat Oriental menganggap sebuah film mencapai popularitas bila audiensinya adalah Amerika Serikat, Hollywood! Dan memang strategi representasional seperti Hollywood terbukti tepat pada saat AS muncul sebagai negara adidaya sekaligus model kapitalisme konsumen (Melani McAlister:2000,31).

Film Lawrence Le Arabia (1962) misalnya. Bercerita tentang peran militer Letnan Kolonel T. E. Lawrence dalam pemberontakan Arab 1916-1918. Film tersebut mencapai  popularitas usai ceramah populer Lowell Thomas di AS. Alhasil, investasi terbesar dan laba terbesar dibuat oleh Columbia Pictures Corporation of Hollywood untuk membiayai film yang disutradarai David Leans ini. 

Sayangnya, di saat film tersebut memenangkan tujuh Academy Awards termasuk Best Picture, sebuah stereotipe baru mulai terbangun di kanca Hollywood: orientalisme memikat sekaligus biadab. Kisah ini kemudian membuat kita berani mendugai bahwa sementara ekspresi orientalisme Inggris dan Perancis terbatas pada akademik dan intelektual, orientalisme AS justru ditemukan dalam budaya konsumen. AS mengubah daya eksotis Timur menjadi komoditas yang tersedia untuk konsumsi visual (Naomi Rosenblatt:2009,61).

Dikala paradigma orientalisme abad XX tengah memperuncing dualisme oriental dan oksidental, arus digitalisasi dengan logika the world is flat mentransformasi secara revolusioner logika binner yang menghambat kemajuan ini. The world is flat menjadi logika digitalisasi abad XXI, di mana setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang. 

Inilah Pop Culture, kala perspektif, kebiasaan, termasuk nilai, diproduksi secara massal dan dihidupi seturut ruang dan waktu tertentu. Budaya populer dengan sarana media digital mempercepat tren, cerita, lagu, film, tarian budaya termasuk kumpulan gambar, konsep, perspektif dan cara berakting yang diterima publik. Menurut William Rowe dan Vivian Schelling, "meningkatnya saluran komunikasi yang melintasi batas budaya memiliki efek membongkar bentuk lama dari marginalisasi dan dominasi menjadi bentuk baru demokratisasi dan multiplisitas budaya" (1991,1).

Konsep ini diamini oleh Amerika Latin yang mengisi list dunia ketiga bahkan lebih frontal dalam perjuangan melawan orientalisme. Nstor Garca Canclini dalam bukunya Culturas hbridas: Estrategias para entrar y salir de la modernidad (1989) menyatakan, pandangan tradisional budaya populer sebagai oposisi terhadap budaya elit tidaklah tepat karena ketika berjumpa dengan budaya massa, ia kemudian menjadi anomali. Seni Amerika Latin yang sempat diberhentikan karena dianggap tiruan pucat dari modernisme AS dan Eropa Barat kini dibela. 

Seni Amerika Latin pada hakikatnya adalah hibrid, campuran tradisi dan gaya yang eklektik yang kadang-kadang tidak sesuai. Artinya persoalan peniruan dimungkinkan karena memang sebagian besar seniman paling terkenal dari Amerika Latin belajar di luar negeri atau setidaknya berpartisipasi dalam gerakan estetika yang luas.

Selain itu, pluralitas Amerika Latin, di mana suku-suku Amerindian masih hidup berdampingan dengan keturunan penjajah Spanyol atau Portugis, budak Afrika, dan imigran Eropa, Timur Tengah dan Timur Jauh, telah berkontribusi pada orisinalitas produksi artistik Amerika Latin. Ide-ide dari luar negeri diasimilasi tetapi secara kreatif diadaptasi ke dalam konteks Dunia Baru dengan gaya artistik yang mapan. Justru kualitas hibrida inilah yang menjadi salah satu fitur lukisan dan bentuk budaya visual lainnya di Amerika Latin (1989, 229).

Amerika Latin dan Hollywood

Secara historis Hollywood menampilkan orang Amerika Latin melalui stereotipe yang klise dan tidak menarik, yang bergantung pada mitos seksual. Dalam dekade pertama sinema suara, aktris Amerika Latin mengambil peran layar sebagai penggoda, seoritas (perawan atau aristokrat), sementara aktor berperan sebagai pecinta seoritas. 

Pada 1930an dan 1940an, film-film besar menampilkan bintang-bintang Latino dan Latina dengan nama-nama Hispanik yang dapat dikenali dengan aktor-aktor yang memainkan berbagai peran. Kendati peran mereka diperlunak dalam film-film Hollywood kontemporer, yang banyak ditampilkan di Barat tetap konteks kota yang penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Myrtle Gonzalez (1891-1918) putri pedagang grosir Los Angeles dapat diperhitungkan karena menjadi bintang Latin pertama Hollywood.

Myrtle Gonzalez membintangi lebih dari empat puluh film bisu antara 1911 dan 1917. Dolores Del Ro (1905-1983) yang sering disebut sebagai "superstar Latin pertama", dan rekannya Lupe Vlez (1908-1944) menjadi identik dengan vamp api yang meludah. Sayangnya orang-orang dengan "penampilan" Eropa masih sebagai aktor utama. 

Dolores Del Ro, Car men Miranda, Raul Roulien, Csar Romero, dan mereka yang berwarna lebih gelap ditakdirkan memainkan peran-peran kecil sebagai bandit. Patut diketahui, sepanjang abad XX Hollywood di bioskop-bioskop membersihkan sanitasi ras Latin dengan latar depan bintang-bintang berkulit putih dan menurunkan mereka ke peran tambahan. Pengalaman ini mengingatkan kita akan apa yang terjadi di tahun 1996, kala orang Amerika beraksen Latin dianggap tidak meyakinkan berperan dalam film Romeo dan Juliet karya Baz Luhrmann.

Baru selama Perang Dunia II, citra Hollywood tentang Amerika Latin meningkat sebagai konsekuensi langsung dari peristiwa politik dan pertimbangan komersial. AS mulai memberi perhatian yang lebih besar dalam penggambaran Amerika Latin. Hal ini dipicu oleh periode sebelum dan selama Perang Dunia II. Selama periode tersebut, sebagian besar ekonomi Eropa tertutup untuk produk-produk Hollywood, sehingga pasar Amerika Latin untuk film menjadi semakin penting. 

Pada 1933, Departemen Luar Negeri AS menerapkan kebijakan Good Neighbor Policy dengan maksud mencapai pemahaman dan kerja sama yang lebih besar antara Amerika Utara dan Selatan, dan film menjadi pusat dalam menumbuhkan semangat Pan-Amerikanisme. Untuk lebih efektif, pada tahun 1940 pemerintah AS mendirikan kantor Coordinator of Inter-American Affairs (CIAA) dengan Nelson Rockefeller sebagai pimpinan. CIAA mensponsori surat kabar dan dokumenter untuk distribusi Amerika Latin sekaligus mendorong studio Hollywood membuat film dengan tema Amerika Latin. 

Antara 1939-1947, film-film Hollywood yang menampilkan Amerika Latin membanjiri pasar internasional. Bahkan pada 1945, delapan puluh empat film dengan subyek Amerika Latin diproduksi. Bagian gambar bergerak (motion picture) CIAA, disutradarai oleh John Hay Whitney, bertujuan memastikan orang Amerika Utara mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang bahasa Amerika Latin dan menghindari diskriminasi kepada mereka. 

Ketika perang dimulai, Hollywood's Production Code Administration (PCA) memainkan peran kunci sebagai "pengawas", untuk memastikan tidak ada gambar negatif dari orang Amerika Latin yang mencapai layar. Pada 1941, seorang ahli Amerika Latin yang dibesarkan di Kuba Addison Durland menjadi staf PCA dengan maksud memantau penggambaran Hollywood tentang Amerika Latin.

Hal ini membawa pengaruh besar dalam representasi identitas Amerika Latin di layar Hollywood. Produser film AS akhirnya menyadari fakta bahwa Hispanik adalah komunitas "mayoritas-minoritas" di AS. Apa yang sekarang disebut sebagai "kekuatan Latin" di Hollywood telah menjadi masalah sehingga casting non-Latin dalam peran seorang Amerika Latin sekarang akan dianggap sama saja dengan casting aktor putih dalam wajah hitam sebagai seorang Amerika Afrika.

Saat ini, para pembuat film alternatif dari komunitas Latino di AS telah menghasilkan tanggapan kreatif terhadap masalah pengucilan, diskriminasi, dan stereotipe ini. Pengecualian orang Latin dari peran utama dalam film arus utama telah ditantang dalam film Frida (2002) yang diproduksi Salma Hayek. Tampaknya ada kebangkitan lambat dalam beberapa tahun terakhir dengan fakta bahwa 47 persen dari populasi Los Angeles adalah keturunan Hispanik (termasuk 5 juta orang Meksiko). 

Dua film besar Before Night Falls dan Traffic telah dirilis dengan berisi sebagian besar bahasa Spanyol lisan. Pembalap Spanyol Javier Bardem dalam Before Night Falls, dan pemain Amerika Puerto Rico Benicio del Toro sebagai pemain Meksiko dalam Traffic tampil penuh meyakinkan. Para produser kedua film tahu berapa banyak orang Kuba dan Meksiko akan menjadi bagian dari penonton film-film ini di AS dan menyadari bahwa mereka tidak dapat dibodohi (Lisa Shaw-Stephanie Dennison: 2005, 179-205).

Catatan Akhir: Popular Religion

Perjalanan dialektis Amerika Latin dalam kanca Hollywood membuat kita menyadari bahwa kecerdasan dan skill tidaklah cukup untuk peradaban sekarang. Kita membutuhkan kesabaran untuk belajar sesuatu yang baru untuk siap mendugai masa depan. Lebih dari itu, konsekuensi pop culture tidak hanya menelurkan aneka kreativitas manusia. Pop Culture juga memengaruhi presepsi orang tentang keagamaan yang berwujud dalam sikap iman. Saat ini, paradigma dualisme tubuh dan jiwa dalam ajaran keagamaan berganti menjadi fisik dan moral dalam konteks populer (diskriminasi, ragam kriminalitas, dan patologi sosial lainnya). 

Oleh karenanya setiap orang harus berbicara tentang Tuhan dengan mata yang melihat ke bumi. Tidak cukup pop culture, kita butuh popular religion. Di Amerika Latin antara 1960-1985, kelompok-kelompok Protestan tumbuh atas dasar ekspansi pentakostalisme dengan total populasi dari 2,5% menjadi 5,5% di Argentina, 1% menjadi 7,6% di Bolivia, 10,8% menjadi 20,5% di Chili, 0,7% menjadi 3,1% di Kolombia, 3% menjadi 20,4% di Guatemala, dan dari 7,8% menjadi 17,4% di Brasil. 

Gerakan yang internasional membuat mereka ditemukan dalam komunikasi modern dan organ teknologi. Dapat dibayangkan, jaringan gerejawi transnasional mengembun menjadi produk industri budaya dan menjadi iklim evangelis global. Semua itu didasarkan pada elemen yang paling mendasar dalam identitas mereka, yakni Roh Kudus (Pablo Semn:1997,9-14). Bukankah Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II juga mengamini hal yang sama, bahwa kemajuan-kemajuan hasil kreativitas dari olah pikir manusia saat ini juga merupakan tanda bahwa angin masih berhembus?

Bibliografi

Canclini, Nstor Garca., 1989 Culturas hbridas: Estrategias para Entrar y Salir de la Modernidad (Meksiko: Grijalbo). 

McAlister, Melani., 2000 Epic Encounters: Culture, Media, and US Interests in the Middle East since 1945, (Berkeley: University of California Press).

Schelling, Vivian., 2000 "Introduction: Reflections on the Experience of Modernity in Latin America" dalam Through the Kaleidoscope: The Experience of Modernity in Latin America, (London: Verso).

Shaw., Lisa-Stephanie Dennison., 2005 Pop Culture Latin America: Media, Arts, and Lifestyle, (USA: ABC Clio).

Naomi Rosenblatt, "Orientalism in America Popular Culture", Penn History Review, Volume 16 Issue 2 Spring 2009.

Pablo Semn, "Religin y Cultura Popular en la Ambigua Modernidad Latinoamericana", Nueva Sociedad No. 149 Mayo-Junio 1997.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun