Peran perempuan dalam Gereja
Salah satu pengalaman awal yang paling menjanggal hati saat pertama kali berada di jogja adalah melawan suara hati untuk menerima komuni suci dari seorang prodiakon dan lebih berat lagi jika prodiakon tersebut adalah seorang perempuan.
Hal ini bukan semata-mata karena penulis dibentuk dalam budaya yang patriarki, yang kalau ekstremnya menjadikan wanita sebagai kelas kedua. Hal yang cukup mempengaruhi mentalitas ini adalah, gereja katolik di NTT sendiri tidak memiliki tradisi seperti itu.
Inilah yang akhirnya membuat penulis bertanya, sungguhkah prodiakon perempuan itu sah secara gerejani? Bukankah gereja hanya mengangkat laki-laki sebagai yang berhak mendapat tugas serupa secara tetap, bagaimana menjelaskan ini?
Melihat pertanyaan-pertanyaan ini membuat penulis terbawa akan kisah-kisah yang kerap muncul dalam surat-surat Paulus. Di sana kita menemukan bahwa ada banyak perempuan yang cukup berperan dalam kehidupan gereja awal. Paulus menjelaskan karya penginjilannya sebagai kopiao sebagaimana pula karya penginjilan yang dilakukan Maria, Trifena, dan Persis (Kis. 16,15).
Tidak  ada isyarat apapun tentang perbedaan peran antara Gaius (Rm. 16,23) dan Nimfa atau malah Lidia (Kis. 16,15) pada masing-masing jemaat di rumah mereka.
Bercermin pada jemaat awal, rupanya peran perempuan sudah diakui dari sononya. Namun demikian, dalam kehidupan gereja masa kini sehubungan dengan prodiakon perempuan maupun pelayanan lainnya dalam gereja, ada dua hal yang ditekankan oleh gereja yang dapat dipakai sebagai dasar,
Semua orang beriman dapat menunaikan tugas komentator, penyanyi atau tugas-tugas lain menurut ketentuan-ketentuan hukum (KHK 1983 Kanon. 230#2).Â
Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan babtis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum (Kanon. 230#3).Â
Dalam Kehidupan Sosial
Dalam ensikliknya Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus beberapa kali menuturkan bahwa gereja harus bergerak keluar, berani berenang dalam lumpur dunia. Dan memang itulah semangat yang hadir dari hembusan angin Konsili Vatikan II, gereja harus menjadi sakramen universal keselamatan. Hal ini tampak dalam berbagai kegiatan karikatif gereja yang membuat hentakan langkah gereja sungguh-sungguh dirasa dan lebih dari itu adalah gereja menjadi sungguh-sungguh visibilis.