Sahabatku itu adalah Ose. Sorot matanya membuatku iba. Sulit tuk memahami kemendalamannya. Namun intuisiku selalu merasakan bahwa ia berada dalam kesusahan besar. Terkadang kupaksakan diri bertingkah seperti anak-anak, agar menghindari tatapannya yang terus meminta wujud kasih.
Dia adalah seorang manusia tanpa pribadi, direnggut habis oleh ular dan dibawa jauh jiwanya mengangkasa setinggi elang. suatu kali ia memintaku untuk membantunya menyusun pidato rohani tentang kisah "anak yang hilang". Sepanjang penjelasanku ia hanya menatap seperti anak kecil yang selalu disuap. Dan aku gelisah sepanjang malam hanya karena aku tahu bahwa ia jarang membaca. Kitab suci sekalipun.
Selalu dalam doaku, kuselipkan namanya. Semoga Tuhan selalu menuntunnya di jalan-Nya. ke tempat teduh dan padang hijau. Aku ingin ia merasakan indahnya hidup tanpa terpenjara sebagai konsekuensi dari keamanan.
Sebetulnya Ose adalah nama yang selalu ku sebut kala hendak memanggilnya. Ia pas-pasan dalam kelas, namun keliahaiannya dalam memetik gitar harus kuakui. Ia berbeda dengan yang lain, sama seperti Arbo. Ada ketulusan dalam dirinya. Iangin rasanya aku menyebutnya sodara, namun sulit diucapkan.
Dia berbeda dariku dan kelak kami akan saling melupakan. Itulah sebabnya kutuliskan ini, agar kendati intuisi ini tak lagi merasa ataupun membayangkan segala dinamika pengalaman bersamanya, namun paling tidak namanya sempat kutuliskan dalam Diary ini sebagai tanda bahwa ia berarti.
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H