Masyarakat NTT umumnya hanya mengenal misionaris SVD. Padahal nyatanya misionaris SVD yang tiba di Timor, 'hanya' melanjutkan karya yang telah dimulai oleh misionaris sebelumnya (Dominikan, Jesuit). Alasan mengapa misionaris SVD lebih dikenal karena merekalah yang kemudian memilih untuk menetap.
Salah satu misionaris SVD yang masih terkenang adalah  P. Bernard Bode, SVD. Ia menjadi misionaris tetap pertama di Lamalera. Masyarakat Flores umumnya mengenalnya dengan sebutan Bapa Bode, karena kesucian, kegigihan dan ketegasannya dalam bermisi. Lebih dari itu, kekayaan hidupnya sebagai religius sejati, penuh cinta, pengorbanan, mati raga dan doa, membuatnya dikenang sebagai Rasul Pulau Lembata. Â
Pator Bode: Anak Zaman (PD I dan KV I)
Bernard Bode lahir di Bilhausen, Jerman pada 20 Agustus 1885 dari pasangan Karl Bode dan Elisabeth Monika. Kehidupan rohani masa kanak-kanaknya dididik dengan sangat ketat. Perlu diketahui, kampung kelahiran P. Bernard Bode berdekatan dengan Germershausen, tempat di mana terdapat sebuah tempat ziarah yang terkenal Maria in der Wiese (Maria di Padang) berusia 400 tahun. Tempat ziarah ini amat penting karena dibangun ketika gerakan reformasi Martin Luther. Kampung inipun berada dalam wilayah Eiesfeld, yang pada zaman kontra reformasi dipertahankan oleh para misionaris Jesuit sebagai wilayah katolik yang menyerupai 'pulau' di antara wilayah-wilayah protestan. Tak heran, semangat untuk membela dan melindungi kemurnian agama dari pengaruh protestanisme amat terpatri.
Sejak kecilnya, Bernard Bode selalu mendengar suara misterius yang memanggilnya "Pergi, dan tolonglah anak-anak kafir!" suara ini terus menghantuinya hingga membuatnya sampai pada suatu keinginan untuk menjadi seorang misionaris. Impiannya ini akhirnya terkabul, dan pada 8 April 1902 ia bergabung dengan rumah misi Sank Mikhael di Steyl. Di tempat inilah ia akhirnya memperoleh tahbisan imam pada 29 September 1910 bersama dengan 57 kawan kelasnya. Dari ke 57 kawan kelasnya, terdapat tiga tokoh yang nantinya menjadi tokoh-tokoh penting dalam karya misi SVD di Indonesia: P. Henricus Loven (Vikaris Apostolik wilayah Flores), Yohanes Bouma (Pendiri STF Ledalero dan penerjemah Kitab Suci Perjanjian Baru), dan P. Wilhelm Baac (Pastor SVD pertama di Larantuka).
Pengalaman yang sangat menarik terkisah dalam proses pengutusannya. Perlu disadari, meskipun background masa mudanya dalam iklim Trento, namun 'sekolah' di mana ia diformat sebagai seorang misionaris adalah sekolah dalam nuansa KV I. Awalnya P. Bode mendapat benuming (Penempatan) di Brazil, Amerika Selatan, Ia pun mulai mempelajari bahasa portugis. Sementara tekun mempelajari bahasa Portugis, ia di-SK-kan di Argentina dan beralih kursus ke bahasa Spanyol termasuk sejarah kolonial di sana. Perubahan penempatanpun datang lagi, ia ditunjuk untuk pergi ke Mozambik, sebuah daerah kolonial Portugal di Afrika Timur. Sedang ia disibukan dalam persiapan yang kian tak menentu, Mgr. Bucking Perfek Apostolik di Togo menunjuknya untuk pergi ke Togo. Akhirnya Togo menjadi cinta pertamanya dalam bermisi.
Perjalanan misinya di Togo rupanya terhenti oleh Perang Dunia I, 1914 yang melibatkan Jerman. Semua orang Jerman di mana saja termasuk misionaris SVD di Togo menjadi tawanan perang. Bulan Mei 1917, mereka dideportasikan ke Inggris dan diinternir di isle of men, sebuah pulau kecil di antara Inggris dan Irlandia. Setelah pengalaman di Togo inilah misionaris SVD mulai mengalih pandang ke kawasan Asia Tenggara.Â
Cerita Lama
Setelah mengalami pengalaman bermisi di Togo, tentu bukan hal yang sulit lagi bagi P. Bode untuk menyesuaikan diri dengan daerah Flores yang juga memiliki iklim yang relatif sama dengan Togo, tropis. Ia sering mendengar cerita tentang pulau itu dari temannya P. W Baack yang adalah misionaris SVD pertama di Larantuka. Maka perjalanan misi P. Bode di Larantuka, bukanlah sebuah kisah yang baru dimulai, melainkan suatu rajutan benang-benang sejarah yang telah menua.
Permulaan abad XVI (1512), misionaris-misionaris Portugis mulai berevangelisasi di Amboina dan Ternate. Di Timor sendiri, misi digalangkan oleh misionaris Dominikan dan berpusat di Lohayong, Solor. Uniknya, salah satu pulau yang tidak terjamah sedikitpun oleh Portugal adalah pulau Lomblem atau yang sekarang dikenal dengan Lembata. Ketika Portugal kala dari Belanda berdasarkan Traktat Lissabon 20 April 1859, masyarakat Lomblem pun belum menyadari akan situasi keterjajahan mereka. Larantuka kemudian menjadi target selanjutnya bagi para misionaris Dominikan, kemudian dilanjutkan oleh dua orang imam projo pada 1860. Karena sakit, ke dua imam tersebut akhirnya meninggalkan Larantuka.
Setelah lebih dari tiga tahun tak mendapat pelayanan, akhirnya tahun 1863 Pater G. Metz, SJ hadir di Larantuka sebagai misionaris Jesuit pertama. Pada masa itu, masyarakat Lomblem yang belum terlalu dikenal sering datang ke Larantuka untuk urusan komersial. Kegiatan harian inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh misionaris Jesuit untuk mewartakan nilai-nilai Injil (lebih tepatnya 'benih kristiani'). Pada 8-9 Juni 1886 dua imam Jesuit Pater Y. de Vries dan Pater C. ten Brink mengunjungi pulau Lomblem dan membabtis 125 anak. Peristiwa ini kemudian dikenang oleh masyarakat disana sebagai saat di mana Gereja Katolik resmi didirikan di Lembata.