Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Walet di Kota Seribu Pintu

14 Februari 2019   08:04 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Berkunjung ke Semarang, tak lengkap bila tidak mengunjungi Bangunan Seribu Pintu. Bangunan bersejarah di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein, tempat "Peristiwa Pertempuran Lima Hari" terjadi di Semarang(14-19 Oktober 1945). 

Pertempuran Lima Hari merupakan serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang di Semarang pada masa transisi kekuasaan ke Belanda. Tak heran jika bangunan tersebut kemudian menjadi cagar budaya.

Karena memiliki banyak pintu dan jendela yang tinggi dan lebar, masyarakat di Semarang kemudian menyebutnya Lawang Sewu, seribu pintu. Di bagian tengah ruangan terdapat kaca mozaik yang ketinggiannya sembilan meter-an.

Mozaik itu menjelaskan tentang Lawang Sewu sebagai kantor perkeretaapian terbesar pada zaman itu. Memang Lawang Sewu sempat dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia.

Selain Lawang Sewu, pengalaman ketakjuban juga muncul kala orang memandang ke langit dan melihat segorombolan burung walet yang beterbangan. 

Uniknya, sewaktu hujan mereka tidak mencari tempat berteduh, melainkan bertengger rapi di atas kabel hitam besar yang disoroti oleh lampu jalan. 

Burung walet itu selalu bersama-sama, bergerombol, dan tidak pernah ada yang dibiarkan terbang terpisah. Walet dan Lawang Sewu dua aspek menakjubkan dari Kota Semarang dapat dijadikan metafora rakyat di Negara kita?

Lawang Sewu

Berbeda dengan Yogyakarta, Kota Budaya, yang banyak dikunjungi wisatawan asing, Lawang Sewu, Bangunan Seribu Pintu di Semarang justru banyak dikunjungi wisatawan pribumi. 

Boleh ditebak, Lawang Sewu,wisatawannya pribumi karena bangunanya mirip bangunan Eropa. Artinya "tidak usah jauh-jauh ke Eropa, mampir saja ke Lawang Sewu". Arsiteknya saja orang Amsterdam, Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B. J. Quendang.

Sedangkan di Yogyakara, banyak destinasi budaya yang sungguh-sungguh Asia (atau mungkin bahkan Indonesia). Borobudur dan Prambanan dapat disebut dalam ranah ini. Kendati Lawang Sewu nampak bergaya Eropa, namun boleh jadi, Bangunan Seribu Pintu tersebut merupakan miniatur Indonesia.

Saya berpikir, jika Indonesia adalah sebuah bangunan, maka seribu pintunya adalah masyarakatnya yang plural, jamak akan budaya dan adat istiadat. Bahkan menurut Denys Lombard, di dalam budaya dan adat istiadat yang jamak di Indonesia sendiripun selalu plural di dalam dirinya, mengalami konstelasi yang berkembang di dalam peradaban bangsa.

Misalkan saja, budaya kasta Jawa dipengaruhi oleh Hinduisme yang membentag kain peradaban kita. Selanjutnya Para pedagang Arab masuk dan menyebarkan Islam yang dengan sistem egaliter mempersiapkan jalan bagi masuknya modernisme. 

Tidak berhenti di situ, egalitarianisme Islam kemudian diperteguh oleh Kristianitas lewat jalur pendidikan (Nusa Jawa: Silang Budaya, 1996). Tak terkecuali Cina serta India yang menjadi ansestor kita dalam kebudayaan.

Maka sebetulnya, bila di zaman ini banyak tema toleransi diusung, sebetulnya bukan sebagai antisipasi konflik karena kita berbeda, melainkan karena kesadaran bahwa di dalam diri kita sendiri sudah mengandung pluralitas. 

Maka paradigma dikotomi tersimpulkan sebagai demagogi, karena justru mengkondisikan rakyat Indonesia untuk memiliki claim truth yang sejatinya kebal akan detak persilangan budaya dalam bumi Indonesia. 

Masyarakat Indonesia dibentuk dari berbagai konstelasi budaya yang tidak tunggal. Bukankah semakin plural, kesadaran akan fungsi toleransi menjadi tuntutan?

Lawang Sewu memberi pemahaman bahwa masyarakat Indonesia bisa masuk ke dalam seribu pintu, namun tetap dalam pemahaman bahwa mereka Indonesia. Dan sebetulnya itulah negara yang ideal. 

Tidak ada dikotomi mayoritas-minoritas, Indonesia-Tionghoa, Barat-Timur. Hidup bernegara mengatasi dikotomi dan menjunjung egalitas yang mengakar pada kesetaraan martabat manusia yang dipahami dalam korelasionalnya. 

Sampai pada titik ini kita sadar, rupa-rupanya impian itu seolah-olah terlalu jauh. Ibarat kita meludah ke udara dan hanya membuang daya percuma.

Berbagai fenomena di abad milenial ini kemudian membuat banyak orang bertanya-tanya. Perselisihan yang didasarkan pada dikotomi, dikompori oleh demagogi penguasa serta politik yang abu-abu, menjadikan rakyatnya berjalan dalam seribu pintu di satu bangunan namun tidak saling mengenal. 

Fenomena ini layaknnya pemandangan para wisatawan pribumi yang datang ke Lawang Sewu. Mereka pergi untuk mencari pemahaman pribadi dengan relasi interaksi superfisial. Jarang kita melihat orang saling tegur-sapa, padahal semua pengunjungnya adalah pribumi, Indonesia.

Walet Semarang

Melihat burung walet di kota Seribu Pintu mengajak orang untuk mengenang kembali dongeng tua "Burung Punguk Merindukan Bulan". Mereka setelah terbang ke bumi melepas kesedihan sepeninggalan Punguk, tak bisa lagi kembali ke bulan. 

"Mereka seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah di mana kelak bisa mendarat, di planet lain, atau kembali ke bumi; atau hilang dalam ketakterbatasan alam" (Pramoedya Annanta Toer: Bumi Manusia, 1987). 

Dan merekapun adalah metafora dari masyarakat Indonesia zaman ini yang berada di ambang batas ketidakpastian: bencana alam, busung lapar, terorisme, dikotomi masyarakat disertai demagogi  pemerintah yang korup, menjadi litani pengganti Adzan. Masa depan yang sejatinya tak dapat didugaipun kini diprediksi dengan sikap pesimis. Yang ada orang lalu bernostalgia.

Sutan Sjahril pernah menegaskan, hanya orang yang telah sanggup meninjau ke belakang dengan hitungan abad yang mampu mengerti kepastian arah dan tujuan sejarah (Y.B. Mangun Wijaya: Dilema Sutan Sjahril). Mungkin karena amanat luhur ini, di berbagai segmen perjuangan politik sekarang, kisah-kisah  di era 45 dinarasikan kembali.

Era 45 mencerminkan perpolitikan yang digenangi oleh penghayatan suci, kebaktian kepada kawan sebangsa yang hina dina tanpa pamrih. Pegangan kerja dan berpikir adalah menjunjung tinggi segala yang mulia dan indah pada manusia dan pengangkatan bangsa dari keterbelakangan ke taraf kemerdekaan. 

Namun, berpatokan pada masa lampau artinya berkubang pada lingkaran idealisme yang buntuh pada persoalan praktis. Bukankah orang yang selalu melihat sejarah dapat jatuh pada fundasionalisme yang berpikir ke belakang?

Indonesia zaman ini kendati tertatih merangkak meluruskan kain kusut namun getar batin (religiusitas) sebagai Indonesia masih berdenyut. Layaknya burung walet yang diterpa hujan, namun tidak tercerai berai, melainkan berbaris rapi di atas kabel. 

Ini bukanlah dongeng Burung Punguk Merindukan Bulan, melainkan kisah burung Walet yang terbang di Semarang yang menghadirkan semangat sehati sejiwa sebagai bangsa Indonesia yang hidup di bumi, sekaligus menghilangkannya.

Akhirnya, sekiranya kisah Walet di Kota Seribu Pintu membuat kita semakin merakyat demi kerakyatan di negara Indonesia. "Negara sejati bisa memberi rakyat gaji yang layak, perumahan, pendidikan, tetapi tidak memberikan faktor-faktor yang lebih abstrak yang jelas semakin menambah rasa kepuasan seperti cinta yang dibalas, rasa hormat dari orang-orang lain, atau satu perasaan harga diri pribadi" (Orang-orang Malang). 

Jika kita digariskan oleh Yang Maha Kuasa sebagai embrio di rahim Pertiwi, maka tak bisa tidak plasenta darinyalah yang harus memberi asupan.  Dengan demikian, belajar dari kisah Walet di Kota Seribu Pintu, marilah kita menjadi etalase keharmonisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun