Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Walet di Kota Seribu Pintu

14 Februari 2019   08:04 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walet Semarang

Melihat burung walet di kota Seribu Pintu mengajak orang untuk mengenang kembali dongeng tua "Burung Punguk Merindukan Bulan". Mereka setelah terbang ke bumi melepas kesedihan sepeninggalan Punguk, tak bisa lagi kembali ke bulan. 

"Mereka seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah di mana kelak bisa mendarat, di planet lain, atau kembali ke bumi; atau hilang dalam ketakterbatasan alam" (Pramoedya Annanta Toer: Bumi Manusia, 1987). 

Dan merekapun adalah metafora dari masyarakat Indonesia zaman ini yang berada di ambang batas ketidakpastian: bencana alam, busung lapar, terorisme, dikotomi masyarakat disertai demagogi  pemerintah yang korup, menjadi litani pengganti Adzan. Masa depan yang sejatinya tak dapat didugaipun kini diprediksi dengan sikap pesimis. Yang ada orang lalu bernostalgia.

Sutan Sjahril pernah menegaskan, hanya orang yang telah sanggup meninjau ke belakang dengan hitungan abad yang mampu mengerti kepastian arah dan tujuan sejarah (Y.B. Mangun Wijaya: Dilema Sutan Sjahril). Mungkin karena amanat luhur ini, di berbagai segmen perjuangan politik sekarang, kisah-kisah  di era 45 dinarasikan kembali.

Era 45 mencerminkan perpolitikan yang digenangi oleh penghayatan suci, kebaktian kepada kawan sebangsa yang hina dina tanpa pamrih. Pegangan kerja dan berpikir adalah menjunjung tinggi segala yang mulia dan indah pada manusia dan pengangkatan bangsa dari keterbelakangan ke taraf kemerdekaan. 

Namun, berpatokan pada masa lampau artinya berkubang pada lingkaran idealisme yang buntuh pada persoalan praktis. Bukankah orang yang selalu melihat sejarah dapat jatuh pada fundasionalisme yang berpikir ke belakang?

Indonesia zaman ini kendati tertatih merangkak meluruskan kain kusut namun getar batin (religiusitas) sebagai Indonesia masih berdenyut. Layaknya burung walet yang diterpa hujan, namun tidak tercerai berai, melainkan berbaris rapi di atas kabel. 

Ini bukanlah dongeng Burung Punguk Merindukan Bulan, melainkan kisah burung Walet yang terbang di Semarang yang menghadirkan semangat sehati sejiwa sebagai bangsa Indonesia yang hidup di bumi, sekaligus menghilangkannya.

Akhirnya, sekiranya kisah Walet di Kota Seribu Pintu membuat kita semakin merakyat demi kerakyatan di negara Indonesia. "Negara sejati bisa memberi rakyat gaji yang layak, perumahan, pendidikan, tetapi tidak memberikan faktor-faktor yang lebih abstrak yang jelas semakin menambah rasa kepuasan seperti cinta yang dibalas, rasa hormat dari orang-orang lain, atau satu perasaan harga diri pribadi" (Orang-orang Malang). 

Jika kita digariskan oleh Yang Maha Kuasa sebagai embrio di rahim Pertiwi, maka tak bisa tidak plasenta darinyalah yang harus memberi asupan.  Dengan demikian, belajar dari kisah Walet di Kota Seribu Pintu, marilah kita menjadi etalase keharmonisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun