Saat tengah asik merenung handphonenya bergetar. Pesan masuk rupanya.
"Dari siapa yah," bisik Lobong.
"Eh Pace, udah baca surat kabar belum. Nenek moyang kalian itu kan Papua. ha...ha...ha.. Cendrawasih nyasar" dari nomor tanpa nama.
"Sepertinya kukenal nomor ini. tapi siapa yah. Ahh, sialan ini pasti Sebas. tak bosan-bosannya ia mengganggu hidupku," kesal Lobong.
"Maumu apa sih?" balas Lobong mengancam.
"Cuma menyadarkanmu saja. Kenapa minder yah. Jangan jadi kacang lupa kulit bung. Kalau dari Papua yah terima saja. Bereskan?" balas Sebas ngeledek.
"Sudah ah, buang-buang waktu saja. Percuma tanggapi. Semakin dilawan, semakin ikutan gila saya." gumam Lobong sambil menon-aktifkan handphone genggamnya.
"Tapi jika berita di media itu benarrr... Ah tak mungkin. Kami berbeda," gumam Lobong meyakinkan diri sendiri.
"Jika itu benar, maka Sebas benar. Kami hanyalah cendrawasih pemakan kenari. Mungkin inilah sialnya tak pernah hidup di Alor. Giliran mau adu argumen, tapi dasarnya ohang (tidak ada). Apa aku ke Alor saja yah. Lumayan buat penelitian. Tapi gimana caranya? Aku tak punya keluarga di sana."
"Aha! Kenapa tidak minta bantuan bapak saja. Kan ia sedang ada waktu cuti."
Perjalanan ke Alor membutuhkan waktu sehari penuh. Setibanya di pelabuhan Kalabahi, Lobong tampak kaget. Ia teringat majalah tempo hari tentang geneologi masyarakat Alor.