"Dasar keturunan Papua! Pace, ko mau pi mana?" Sebas memperkeras suaranya.
"Cendrawasih pemakan kenari," ejeknya.
"Sial berita di media masa itu rupanya sudah terdengar oleh lingkungan kampus. Lebih-lebih Kupang sialan ini," gumam Lobong sambil menggerakkan bibirnya.
Seakan tak memedulikan hinaan Sebas yang tertawa sinis terhadapnya, ia langsung bergegas ke rumah dengan beat birunya. Teriakan Sebas: "cendrawasih pemakan kenari" pun terus tergiang di kepalanya.
Sungguhkah nenek moyang kami dari Papua? Namun untuk apa mereka berkelana ke Alor, bukankah Alor hanyalah pulau kecil di tengah serangkaian pulau di Nusa Cendana? Dapatkah pulau ini menjadi Kanaan yang hilang?
"Tidak. Kami bukan dari Papua. Bisa jadi orang Papualah yang berasal dari Alor," kesal Lobong sambil membanting pintu kamar yang bermotif naga itu.
 Perlahan ia mengambil surat kabar yang disembunyikan di bawah bantal dan membaca secara detail. Ia sedikit ragu, karena hasil riset itu hanya termuat komparatif fisik. Dan memang kelihatan mirip.
"Tidak, tidak mungkin. Bagaimana orang Papua dapat sampai ke Alor? Bukankah sewaktu terjadi pembekuan air laut, daerah Nusa Tenggara sajalah yang tidak mengalami peristiwa itu, sehingga dinamakan laut parsial?"
 "Masyarakat Alor sendiri umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Aha, bukan Alor yang dari Papua, namun Papualah yang dari Alor. Tapi Mengapa kami sangat mirip?"  Â
"Ah parsetan dengan riset itu, toh lambat laun akan hilang. Namun aku benci terus dihina oleh Sebas," katanya.
"Tunggu sebentar. Bukankah guru sejarahku pernah mengatakan bahwa peradaban kulit kayu itu lebih tua. Papuakan hanya mengenakan rombe-rombe, anyaman rumput liar atau apalah. Yang jelas, itu lebih modern dari kulit kayu," yakin Lobong.