Dulu ramah dan harmoni, kini sudah semakin berani memainkan egois tanpa melihat ekologis sebagai napas semua secara bersama pula.
Semakin sering jerit tangis satwa yang tak lain adalah si tuan rumah, yang hingga meregang nyawa di rumah sendiri, terasing/diasingkan karena ada tangan-tangan tak terlihat menjemput tajuk-tajuk hingga nyawa menjadi tergadai menjemput ajal karena tingkah polah kita karena semakin lupa harmoni dan semakin ego diri.
Jika bencana terjadi, alam disalahkan karena tidak bersahabat. Apakah benar alam tak bersahabat? kata si tuan empunya tanah pun berharap si tuan rumah yang mendiaminya, alam, hutan ini itu tanpa pamrih memberi. Demikian juga si tuan rumah yang mendiami rimba yang tak lagi raya itu masih bisa menyemai karena perannya sebagai si petani hutan, bersama si raja hutan, tetapi juga tak jarang semakin sering di jerat dan racun serta mati sia-sia mati didera hingga ditembak.
Rumahku dirampas, digadai hingga pakanku berupa buah-buah hutan semakin sulit kujumpai, aku dibilang merusak tanam tumbuh, padahal aku yang terasing di tanah surga titipan ini.
Kata lestari hingga nanti, aku menjadi takut dengan kata-kata itu. Tak banyak yang menamam, tetapi banyak yang menuai. Lihatlah, rumahku porak poranda, ketika kemarau tiba, tak jarang rumahku (di/ter)bakar. Bila hujan tiba. Banjir datang menghampiriku, semua kita tidak terkecuali manusia merasa terganggu karena itu. Tajuk-tajukku tak lagi bisa semua menahan derasnya air hingga sulit menyerap.
Deru mesin bersama tangan-tangan tak terlihat merampas napasku si tuan tanah ini. Saban waktu menggerus sedikit demi sedikit hingga bukit pun lenyap tak berbekas pula.
Aku takut, ketakutanku tak lain, tanam tumbuh berupa tajuk-tajuk yang beraneka ragam itu tidak bisa lagi berdiri kokoh karena kita semakin sulit memilihara bahkan menanamnya kembali.
Karena sejatinya, tajuk-tajuk yang kokoh itu menjadi penyerap, sumber hidup bagiku dan mungkin juga bagi semua.
Tak sepertiku ini, aku hanya bisa berharap, yang tersisa ini sebagai sumber napas terakhir yang mungkin kiranya masih boleh diselamatkan. Mengingat, aku tak mau, aku tinggal cerita dan legenda di kemudian hari. Aku rindu dengan nyanyian makhluk lainnya secara bersama-sama memainkan peranku sebagai petani hingga boleh aku berdiam beranak pinak dan merawat semesta ini sebagai rumah bersama pula. Jika tidak ada yang peduli, aku si tuan rumah akan kehilangan rumah (tidak punya rumah) atau terusir di rumah dimana aku berkembang biak dan menjadi si petani itu. Â
Petrus Kanisius-Yayasan PalungÂ
Â