Kita diberi secara cuma-cuma oleh Sang Kuasa berupa semesta. Semesta raya ini tidak sedikit memberikan manfaat kepada kita semua ketika menjalani tatanan kehidupan. Â Manfaat berupa rupa dan rasa (sumber hidup). Â Tetapi apakah kini kita dan semesta jarang (tak) harmoni?
Sang Pencipta dan sang surya tak pernah terlambat memberikan sinarnya kepada kita, setiap insan di bumi ini dibekali talenta untuk selalu memerikan sinar kebaikan kepada sesama tidak terkecuali kepada semesta.
Semesta berupa alam raya bumi ini memberi arti kepada semua. Semesta selalu memberi manfaat tanpa berharap untuk pilih kasih atau beroleh imbalan. Semesta selalu memberi dengan porsi yang selalu cukup. Tak berlebihan dan juga tak kurang. Kita sebagai makhluk ciptaan yang diciptakan paling sempurna ini sejatinya malu dengan apa yang kita perbuat saat ini kepada semesta ini.
Semesta memberi tetapi kita jarang (tak) harmoni dengannya. Sejujurnya kita bolehlah kiranya untuk harmoni lagi dengan semesta ini. Semesta selalu memberi tetapi terkadang kita membalasnya dengan luka. Semesta ini semakin hari semakin sakit karena ulah tangan-tangan tak terlihat.
Derai tangis dari alam semesta tak jarang menghiasi cerita kita saat ini bahwa kita sudah semakin jarang (tak) harmoni dengan semesta.
Koar kelakar kita tentang kerusakan alam ini (hutan/ rimba raya) seolah menjadi penanda kepada semua agar boleh kiranya apa yang bisa kita lakukan untuk semesta ini dengan sisa-sisa kebijaksanaan yang kita miliki.
Tangisan semesta lebih khusus alam ini sudah semakin sering terasa dan terlihat agar ada kiranya rasa untuk berpadu tertuju padanya (peduli pada nasib semesta).
Rimba raya sudah semakin sering menanti kasih dari kita semua. Tajuk-tajuk yang rimbun sebagai penanda sejati rimbunnya alam ini kian hari semakin tersisih menjelang terkikis habis.
Hutan alam (rimba raya) yang tak lain adalah semesta ini sejatinya harus harmoni hingga nanti jika boleh kiranya. Â