Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jasa Primata yang Teraniaya

6 Oktober 2020   16:50 Diperbarui: 7 Oktober 2020   22:00 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasib satwa primata dan burung saat ini tersiar kabar tentang apa yang sedang terjadi kepada mereka. Mereka yang tidak menuai damai karena jasanya yang teraniaya. Penyemai itu jasa dan peran mereka di alam semesta. 

Tidak banyak kata, namun sangat terasa tentang realita fakta yang tidak kunjung usai mendera kepada mereka. Tajuk-tajuk pepohonan sebagai habitat dan nafas keberlanjutan hidup mereka yang dulu rimbun kini semakin gersang dan panas. Tanah subur kini pun semakin menua dan tidak sedikit menjadi padang ilalang.

Penyemai itu pun terlihat nasibnya yang semakin sulit dikira. Walaupun mereka tanpa pamrih dan lelah menyemai tunas-tunas baru. Sejatinya tunas-tunas itu sebagai sumber dari si penyemai itu untuk hidup dan boleh berlanjut sampai nanti menuai damai.

Tetapi, lihatlah apa yang sesungguhya terjadi kepada penyemai tanpa pamrih itu, malah sebaliknya ia menuai rasa perih dan tidak menuai damai pada sisa hidupnya. Tunas-tunas yang disemainya hilang tak berjejak berganti tanaman baru sejenis dan senama.

Koar kelakar yang kerap kali terjadi, tentang apa yang menimpamu si penyemai. Tajuk-tajuk pepohonan yang menjadi rumahmu pun semakin tidak kuat berdiri kokoh. 

Rebah tidak berdaya berbanding lurus dengan perananmu sebagai penyemai yang semakin sulit dan tidak leluasa untuk mengitari belantara, alam raya, hutan rimba untuk menyemai, sekedar bermain dan bercengkrama.

Mereka tidak diragukan lagi sebagai penyemai yang setia. Saban waktu engkau selalu setia menabur, menyemai yang tidak lain juga sebagai nafas keberlanjutan sampai nanti. 

Kami tahu, si penyemai itu tidak lain adalah enggang, kelempiau dan orangutan. Enggang si penyemai itu lambang kesetiaan yang patut kita gugu dan tiru, setia sampai mati. 

Demikian juga kesetiaannya yang boleh kiranya membuat rimba raya masih berdiri kokoh. Kesetiaan yang sama juga ada pada orangutan dan kelempiau. 

Engkau orangutan betina selalu setia dengan anakmu sampai usianya remaja. Demikian kelempiau yang selalu serasi dan setia dengan pasangannya sampai tua. Sama halnya dengan peran kalian yang selalu menyemai hutan setiap waktu.

Jasa primata dan burung yang tidak terkira sesungguhnya menuai rasa. Rasa dan kata tentang harmoni, saling bijaksana dengan semua dan sesama makhluk hidup.

Tetapi apa yang terjadi, lihatlah rimba raya, tanah moyang saat ini semakin tidak bertuan dan tidak sedikit yang rebah tidak berdaya, kering kerontang.

Tanah moyang yang dulu subur tidak terlepas dari jasamu menyemai sepanjang waktu. Tetapi, lagi dan lagi itu cerita dulu, tidak dengan apa yang ada pada hari ini. Aku hanya takut untuk hari ini dan nanti tidak lagi seperti dahulu.

Tanda-tanda nyata bicara dalam bahasanya masing-masing, bersama nasib para primata dan burung yang entah kapan berhenti teraniaya.

Aku hanya takut, semakin sedikit tanah moyang yang bertahan ditanah bertuan. Semakin kerap banjir datang dikala penghujan, kering kerontang acap kali mendera saat kemarau tiba.

Kini, tanah moyang yang subur kian gersang tidak lebih karena kalah berdiri kokoh oleh bangunan bertingkat menjulang tinggi, tanaman senama dan sejenis mengganti tajuk-tajuk pepohonan. Tanaman itu bukan membuat subur, tetapi selalu haus akan sumber air yang tidak jarang membuat sekitar kering kerontang dan cemar.

Sejauh mata memandang dan realita fakta yang tersaji, habitat hidup primata dan burung terampas oleh tangan-tangan yang tidak terlihat. Diburu, didagangkan, dan dikonsumsi yang membuat nafas mereka kian miris hingga hari ini.

Tidak hanya tanah moyang yang tidak lagi subur akan tetapi tengoklah pula perut tanah yang semakin dalam berlubang. 

Lubang-lubang menganga yang selalu siap mengintai mangsa siapa saja. Lubang-lubang itu tercipta dimana-mana, memporakporandakan tajuk-tajuk pepohonan tempat satwa berdiam, tak henti hingga habis terkeruk. 

Ini bukan tentang hari ini, tetapi cerminan hari ini untuk nasib tanah moyang untuk anak cucu nanti akan seperti apa? Aku bertanya hanya itu yang aku tahu, karena semua nafas tidak lebih hari ini semakin teraniaya. 

Teraniaya oleh tangan-tangan tidak terlihat atau pun oleh tangan-tangan nyata yang tidak mengenal siang dan malam, yang kerakusannya tak dapat ditakar.

Jasamu seolah dipandang sebelah mata, nyata sekali engkau teraniaya. Perbuatanmu yang tidak salah itu justru membuatmu serba salah. Apa sesungguhnya jasamu primata? burung? Jasamu sungguh tidak terkira. Tidak terkira karena engkau memberi yang sungguh berarti bagi semua nafas kehidupan.

Jika aku melihat, jasa-jasamu begitu baik adanya. Yang Maha Kuasa menciptakanmu sebagai pemberi ruang dan tanda kepada semua untuk sejatinya seiring sejalan, harmoni dan saling menghargai satu sama lain. Sang Pencipta tentu memberimu tugas untuk saling harmoni hingga nanti dan lestari.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun