Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: "Hujan" Bolehkah Aku Bertanya?

16 Juli 2020   15:05 Diperbarui: 17 Juli 2020   21:38 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah yang terendam banjir beberapa hari lalu di Desa Setipayan, Kecamatan Jelai Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat . Foto dok : Bonifasius Rionaldo

Hujan kini aku bertanya atau mungkin kita sama sedang bertanya ?

Rinai rintikmu membuat genangan yang membuncah, membuat riuh dan gaduh

Ada yang bilang engkau adalah sumber dari datangnya aliran air yang bisa meninggi dan arus yang deras itu.

Aku bertanya tentang apa yang sedang terjadi sekarang, banyak orang mengatakannya jika curah hujanmu maka membuat namamu bisa berubah menjadi banjir.

Perubahan namamu dari hujan menjadi banjir itu yang terkadang membuat kami bingung harus seperti apa mendefenisikanmu sebenarnya; apakah engkau memang hujan atau akibat dari engkau hujan lalu menjadi sebab menjadi banjir?

Hujan yang hadirmu dari dulu dan sekarang sepertinya sama saja membawa banjir. Tetapi banjir dulu mudah diserap karena tajuk-tajuk pepohonan masih setia menjadi penghalang laju rinai rintikmu, dan akar-akar masih kuat menahan deru gemuruh aliranmu yang membuncah menghampiri.

Kini, kulihat tajuk-tajuk dan akar kokohmu tak lagi kuat menahan/penghalang aliranmu yang semakin deras. Karena kutahu, tanah tak semua lagi berpohon yang menyiapkan sebagai benteng yang kokoh penahan lajunya deru gemuruh ketika engkau datang, bukankah demikian adanya?

Yang jelas, hadir rinai rintikmu sejatinya tak salah. Karena pasti akan beroleh air yang sangat melimpah, ada pula sebagaian nafas hidup rindu akan kesejukan, rindu air saat kekeringan mendera. Tetapi, entahlah mengapa melimpahnya engkau menggenang selepas turun dan menghampiri kami tak kunjung usai. Lalu aku bertanya lagi, ini salah siapa, atau salah siapa?

Jika demikian itu pertanyaannya, mungkin sangat sukar untuk dijabarkan. Terkadang, sulit pula untuk dikatakan.

Tak terbayang ya hujan jika menjadi sepertimu. Hadirmu terkadang dirindukan dan terkadang sangat dibenci karena tidak lain adalah sebab akibat yang berasal darimu. Tetapi sekali lagi, tak salah kan engkau turun membasuh bumi, jika hanya sekedar hujan saja.

Kini atau nanti yang menjadi soal, ketika tidak sedikit orang yang mengatakan bencana dan bencana sering terjadi di Negeri ini yang selalu tak berujung, satu diantaranya bencana banjir. Ada pula yang menyebutnya alam tak bersahabat dengan kita.  Apa benar alam tak bersahabat atau kitanya yang tak bersahabat dengan alam?

Ku tidak ingin saling menyalahkan, aku hanya ingin bertanya kepadamu tentang beberapa hal yang kusampaikan tadi. Pertanyaan itu sebagai caraku menjawab tentang resah dan gelisahku mengapa terkadang hadirmu selalu disalahkan? Ku bertanya pula tentang kata harmoni diantara kita, masih ada kah itu? , bila engkau memberi kami juga harus memberi dan harmoni denganmu hujan alam, hutan (rimba raya).

Hujan, hutan, dan alam raya sama-sama memberi kita nafas dan sumber kehidupan, sama-sama harus ada dalam bingkai harmoni. Demikian sejatinya. Tetapi apakah saat ini kita masih harmoni?

Terkadang kita menyalahkan alam, "alam tak bersahabat dan bencana alam" demikian banyak orang yang menyebutnya. Menyalahkan hujan dan menyalahkan banjir. Adakah kiranya kita boleh bertanya lagi, apakah itu sungguh-sungguh alam yang salah atau kita yang salah dengan alam?.

Seingatku, hutan, hujan dan alam raya diberikan oleh Yang Maha Kuasa sebagai satu kesatuan yang utuh agar selalu harmoni hingga nanti, ya kan hujan?.

Aku hanya bisa berkata dalam bahasaku, mungkin itu kata alam, hutan dan hujan bicara. Mungkin adanya hujan yang turun tiada henti sepanjang waktu dengan anomali cuaca yang ada saat ini pun sedikit memberi arti bahwa mungkin hujan yang terjadi adalah air mata tangis pilu yang mewakili rimba raya, hutan belantara yang menanti dikasihi oleh siapa saja.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun