Desi sapaan akrabnya lebih lanjut mengatakan, "banjir dulu dan sekarang", dulu banjir juga sering terjadi di lingkungan masyarakat kita, tetapi dampaknya tidak separah seperti sekarang ini.Â
Pada Dasarnya kata Desi, Kalimantan sejatinya sudah sangat akrab dengan banjir, tetapi dulu itu sebenarnya air pasang karena biasanya hanya beberapa jam sudah surut.Â
Desi mencontohkan pada masyarakat kita terdahulu (jaman dulu) di kampung lebih arif dan bijaksana dengan alam sekitar kita (lebih memuliakan alam/peduli dengan alam). Bahkan orang tua (masyarakat) kita dulu kata Desi, sudah tahu cara memitigasi (langkah-langkah mengurangi resiko dengan melakukan pencegahan) dengan cara seperti membangun rumah harus tinggi (rumah panggung) di dataran yang tinggi pula.Â
Sedangkan sekarang sangat berbeda, kebanyakan orang membangun rumah sesuai keinginan saja yang tidak terlalu banyak memikirkan mitigasi banjir.Â
Hal lainnya lagi yang memperparah adalah terkait Amdal (analisis dampak lingkungan) yang terkadang hanya copas (copy paste / salin tempel), KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Srategis) tidak dijalankan dengan benar, atau pun perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di sekitar lokasi banjir tidak menjalankan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan.
Selanjutnya juga Desi menegaskan, "Dulu hujan lebat sekalipun bisa sangat cepat diserap (tertahan) oleh akar-akar pohon. Sedangkan sekarang air hujan turun sudah tidak banyak yang tertahan karena tidak ada banyak pohon di hutan yang menahan. Kalau dulu, ketika banjir terjadi, air sungai masih bisa dikonsumsi, sekarang air sungai sudah mengandung racun bekas dari pupuk dan sebagainya".
Sesuatu yang pasti dan yang selalu terjadi, penerima dampak adalah masyarakat kecil di wilayah sangat rentan terjadinya banjir.
Saat ini kita semua, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat saatnya untuk kembali memuliakan alam dengan sisa-sisa kebijaksanaan yang kita miliki, dengan demikian tidak ada lagi bencana yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.