Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bumi sebagai Rumah bersama Menanti Disapa

15 April 2020   13:17 Diperbarui: 15 April 2020   13:17 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumi tak lain dan tak (dapat) disangkal sebagai rumah bersama. Sebagai rumah ia dinanti untuk disapa karena ia perlu rupa dari semua untuk peduli padanya.

Rumah bersama karena ia (bumi) selalu memberi tentang nafas yang sejatinya harus selalu harmoni.

Seperti hari ini dan kemarin lampau, bumi yang kini semakin menua nasibnya semakin tak tentu.

Derita (bencana) alam yang terasa tak lebih karena sejujurnya bumi sedang sakit. Sakit dan deritanya bukan karena yang lain, tak ada selain manusia yang juga tak cukup ramah kepadanya.

Kini, tak jarang bumi lewat alam bicara dalam bahasanya. Andai kita peka, tanda-tanda nyata alam semesta bicara terlihat dari apa yang kita rasa saat ini.

Merenda asa bagaimana agar ia bisa disapa dengan kemurahan, bukan sebaliknya dengan kemarahan dan amarah yang membuncah.

Sekedar pengingat kiranya, bumi tempat kita berdiam ini sejatinya tak tahu harus seperti apa mengadu, bumi tak bosan-bosannya memberi lewat nafas hidup alam rayanya, lewat birunya laut dan sepoi-sepoi segarnya angin.

Apa yang bisa kita manusia beri untuk bumi ini? Bertanya karena bumi yang selalu memberi kita tentang semua untuk kita agar kita masih boleh berlanjut hingga kini dan berharap hingga nanti dan selamanya.  

Disapa? Dirawat? atau apapun itu setidaknya itu tujuan agar bumi sebagai rumah ini bisa sedikit bernafas karena ia tak sekedar renta namun lebih karena ia sering didera.

Disapa, sebab ia menanti kasih yang rela mengasih tanpa pamrih. Kami semua tahu, bumi sebagai rumah bersama, tetapi yang kami selalu bertanya bagaimana agar ia tetap menjadi bumi yang menopang bukan menjadi karang ibarat laut yang tinggal kenangan karena tak kalah seringnya pula dirusak oleh tangan-tangan tak terlihat. Dirawat, karena ia menanti, bukan meminta tangan-tangan tulus tanpa pamrih sebagai pemulih, siapa lagi kalau bukan kita semua.

Bumi pertiwi ini sebagai tanda nyata bahwa ia harus selalu harmoni, yang harusnya juga menjadi tanggungjawab semua agar kita setidaknya boleh memilihara, menjaga serta memupuk harmoni itu agar ia tetap lestari.

Semakin tua renta, inillah adanya bumi ini saat ini. Secerca harap ia bisa selalu memberi, menyapa dengan senyumnya. Seandainya ia bisa terus tersenyum walau kini usianya tidak muda lagi, tetapi setidaknya ia boleh memiliki umur yang panjang hingga ia juga boleh bicara dalam bahasa bahagianya kepada anak cucu.

Bersama untuk bumi yang lebih baik. Setidaknya itu harapan semua agar bumi sebagai rumah boleh lestari hingga nanti dengan cara-cara sederhana yang kita miliki pula. Sebagai pengingat pula, usia bumi ditangan kita semua, apakah ia berlanjut atau tidaknya kuncinya tergantung kepada kita manusia. Semoga pula, sakit penyakit bumi sebagai ibu dan rumah bersama ini segera pulih.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun