Ini bukan mengada-ada, tetapi ini nyata adanya. Saat Jakarta mati listrik beberapa hari lalu, justru kami di pedalaman (perhuluan) lebih dulu dan lebih sering lagi menikmati mati listrik (mati lampu).
Listrik mati dan realita tatanan kehidupan. Memberikan gambaran yang jelas bagaimana sejatinya tata kelola melihat/belajar dari hal ini terjadi.
Mati listrik/mati lampu sedikit banyak membuat orang galau karena berbagai alasan karena kerjaan, bisnis dan kebutuhan rumah tangga dan Rumah sakit dan untuk yang lainnya.
Tidak hanya mati listrik, kami sebagai masyarakat pun terkadang tak tahu jadwal pemadaman, Â bahkan kami tak tahu bagaimana cara menuntut ganti rugi.Â
Mungkin, alasannya karena lain padang lain belalang atau apalah itu tidak tahu. Hingga maaf-maaf kata, kebanyakan masyarakat menyebutnya Perusahaan Lilin Negara. Ini bukan tanpa sebab, alasannya kami di perhuluan selain menggunakan pelita, juga hanya bisanya menggunakan lilin saja.
Waduh. Saking seringnya mati listrik kami jadi lupa berapa kali kami mengeluh/mengaduh/mengadu, Â karena kami pun tak tahu harus bagaimana. Mengadu, mengeluh tetapi tetap saja seperti ini (sering mati listrik/terkadang tanpa sepengetahuan kami/terkadang matinya listrik tiba-tiba).
Apakah kami menuntut ganti rugi?. Sejatinya demikian, tetapi kami tidak pernah menuntut ganti rugi /kopensasi dari pemadaman yang dilakukan. Jika rugi, ya yang jelas kami pun merasa dirugikan. Tetapi apa boleh buat, kami tak tahu harus seperti apa?.
Mengaduh, mengeluh sesekali didengarkan sebetulnya, tetapi entahlah terkadang mati listrik di wilayah perhuluan (di kampung) bahkan kami di kampung-kampung (di perhuluan) wilayah kami  masih ada yang belum teraliri aliran listrik hingga kini.
Jika di kampungku, terlebih pada malam hari yang sejatinya hidup keseringan listrik malah mati tiba-tiba (ini sudah sangat biasa terjadi). Bahkan hak anak-anak di waktu jam belajar mereka pada malam hari terganggu karena adanya pemadaman bergilir (listrik mati tiba-tiba).
Siapa yang salah dalam hal ini?