Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Potret Buram Konflik dan Kejahatan terhadap Satwa Kian Merajalela di Indonesia

5 Oktober 2018   13:10 Diperbarui: 8 Oktober 2018   18:54 3180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik dan kejahatan terhadap satwa tampaknya kian merajalela terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Tentu ini menjadi potret buram akan nasib dan keberlanjutan nafas hidup terhadap satwa-satwa dilindungi.

Iya benar saja, pada tahun 2018 saja, setidaknya ada dua peristiwa memilukan terjadi yaitu matinya harimau sumatera yang sedang bunting karena jerat pemburu, pada (27/9/2018), dan sebelumnya pada (6/1/2018), anak gajah Sumatera yang ditemukan mati di Kabupaten Pidie, Aceh.

Terjadinya konflik dan kejahatan terhadap dua satwa ini menjadi tanda nyata dan tanda tanya mengapa satwa seperti harimau dan gajah Sumatera menjadi primadona untuk diburu oleh para oknum pemburu? pada hal Undang-Undang sudah tegas mengatur dengan sanksi dan hukuman sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku.

Merunut dari berbagai data yang tersaji, maraknya (merajalelanya) konflik dan kejahatan terhadap satwa antara lain karena:

Pertama, semakin meningkatnya permintaan pasar ilegal (pasar gelap) terhadap satwa dilindungi yang semakin merajalela dan semakin sulit dilacak karena berbagai modus.

Kedua, beberapa bagian tubuh dari satwa seperti hewan atau satwa dilindungi diminati sebagai bahan aksesoris yang selalu diminati.

Ketiga, masih minimnya pengetahuan atau pun penyadartahuan oleh pelaku kejahatan (pemburu satwa liar) terhadap satwa dilindungi.

Keempat, pelaku kejahatan satwa acap kali mengatasnamakan perburuan yang mereka lakukan sebagai kepentingan perut (sumber penghasilan) semata.

Kelima, hilangnya habitat satwa dilindungi berupa hutan menjadi satu ancaman yang tidak kalah hebatnya. Hilangnya sebagian besar luasan hutan sedikit banyak berdampak pada semakin sulitnya satwa-satwa dilindungi untuk berkembang biak dan melanjutkan nafas hidupnya.

Keenam, penegakan hukum yang masih minim terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi sehingga tidak ada efek jera oleh si pelaku.

Mengutip dari halaman news.detik.com menyebutkan, "Di Indonesia sendiri kejahatan satwa liar menduduki peringkat ketiga, setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia, dengan nilai transaksi hasil penelusuran PPATK diperkirakan lebih dari Rp 13 triliun per tahun dan nilainya terus meningkat," kata Siti Nurbaya dalam keterangan tertulis, pada Senin (30/4/2018) beberapa bulan lalu.

Anak gajah sumatera yang ditemukan mati di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Anak gajah sumatera yang ditemukan mati di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Hal lain sekiranya adalah pemberlakukan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan terhadap satwa menjadi satu cara mujarab sebagai efek jera, mengingat selama ini pelaku kejahatan satwa hanya dihukum dengan sanksi ringan. Pada hal Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, sudah mengatur jelas tentang hukuman dan konsekuensinya apabila melanggar.

Kejahatan terhadap satwa yang terjadi dan semakin masif sedikit banyak menjadi tantangan baru bagi para penegak hukum dan para lembaga yang peduli terhadap satwa dilindungi saat ini. 

Di samping juga diperlukan langkah-langkah strategis seperti kampanye penyadartahuan kepada masyarakat luas yang harus terus menurus dilakukan oleh semua pihak. Mengingat, segala upaya perlindungan dan penyelamatan satwa sejatinya telah dilakukan oleh berbagai pihak antara lain BKSDA dan banyak lembaga atau organisasi lingkungan yang tersebar dibeberapa wilayah Indonesia harus didukung oleh semua pihak pula.

Selanjutnya juga yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat luas adalah jangan sekali-sekali membeli produk, bahan, aksesoris dan lain sebagainya dari bahan dasar hewan dilindungi atau bagian-bagiannya karena itu sama saja dengan mendukung aksi konflik dan kejahatan terhadap satwa. 

Dengan kata lain, membeli atau pun mengkonsumsi produk atau barang-barang (bagian-bagian tubuh satwa) atau pun segala sesuatu yang berasal dari satwa dilindungi sama halnya dengan mendukung kepunahan terhadap satwa itu sendiri.

Tentu ini tidak bisa disangal dan menjadi potret buram yang setidaknya menjadi tantangan sekaligus menjadi keprihatinan semua sembari berharap ada langkah tepat agar tidak terjadi kembali kasus-kasus serupa terhadap satwa dilindungi yang saat ini nasibnya semakin kritis menjelang hilang alias punah.

Tidak kalah pentingnya juga terkait ruang bebas bagi satwa yaitu biarkan satwa-satwa dilindungi hidup di alam bebas tanpa terus dan harus terpenjara karena hewan memiliki hak yang sama untuk bebas dalam menjalani kehidupannya. 

Biarlah hewan-hewan (satwa dilindungi) untuk hidup bebas di alamnya tanpa harus diusik atau terusik. Bukankah kita sesama makhluk harus selalu untuk saling menghargai satu sama lainnya dengan cara-cara yang bijaksana sehingga dengan demikian semua makhluk boleh hidup harmoni hingga lestari selamanya. Semoga saja...

Sumber tulisan ini : Diolah dari berbagai sumber

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun