Janji-janji politik tidak bisa disangkal selalu menjadi primadona yang ditawarkan oleh calon pemimpin daerah, ketika mereka akan maju dalam pencalonan pemimpin daerah di manapun itu di Indonesia tanpa terkecuali.
Janji-janji politik yang ditawarkan tak terhingga ragam dan macamnya (mulai dari kesejahteraan, pendidikan dan Kesehatan, tentunya dengan paparan rinci yang tertuang dalam program jika terpilih). Namun, ada satu hal yang mungkin saja sengaja lupa atau tidak menjadi prioritas utama setelah terpilih ataupun menjabat, hal ini ini ialah pemimpin yang peduli dan mau membuat kebijakaan pro lingkungan?.
Pro lingkungan yang tak lain terkait kebijakan setidaknya untuk memperlambat kerusakan lingkungan saat ini sudah semakin memprihatinkan kondisinya. Mengingat, yang keseringan terjadi adalah kontra lingkungan (bukan menuduh/tetapi adanya demikian), tengok saja, ijin-ijin konsesi perluasan area seperti pertambangan dan perkebunan serta kegunaan lainnya.
Memang, memanfaatkan lingkungan sebagai pemenuhan sah-sah saja, akan tetapi bila itu berlebihan maka boleh dikata  (maaf-maaf kata) adalah serakah.
Jerit tangis dan uraian air mata bukankah sering terdengar dan dirasakan yang terjadi di beberapa wilayah, tengok ketika banjir datang, asap mendera dan hama belalang tak terkendali yang terkadang membuat petani meradang karena tanam tumbuh mereka diserang hama belalang.
Bukankah itu sebagai penanda rusaknya lingkungan hidup (alam berupa hutan dan segala isinya tidak terkecuali pohon yang semakin rebah tanpa dosa menjadi korban). Bila terjadi bencana sering terucap alam tidak bersahabat, namun benarkah?. Alam atau manusia yang tidak bersahabat?. Siapa yang memulai?.
Membuat kebijakan pro lingkungan yang mungkin atau setidaknya saat ini bisa menjadi salah satu cara bijaksana, jika boleh untuk dilakukan atau diterapkan terkait kebijakan oleh siapapun yang memimpin nantinya di manapun di Indonesia. Bencana ekologis saat ini bukan barang baru terjadi, tetapi setidaknya dengan ada rambu-rambu (kebijakan) pemerintah daerah ataupun pusat menjadi satu kesatuan yang mungkin mampu mengatasinya.
Seiring sejalan pula dengan warga masyarakat, memang ekonomi lebih khusus tuntutan perut itu benar adanya. Namun, akankah lalu kita menggadaikan kekayaan alam ini hanya karena ekonomi saja?. Tentu, tidak semua adanya demikian, cukup banyak wilayah alam dan lingkungannya rusak, namun tidak lantas mengorbankan alam tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkan. Ibarat pepatah, sudah terantuk baru lah tengadah.
Kebijakan terkait pro lingkungan untuk menyalamatkan dari apa yang tersisa saat ini sudah tentu menjadi tugas dari semua, tidak terkecuali bakal calon ataupun setelahnya (telah terpilih) menjadi pemimpin daerah mampu dan mau menerapkan kebijakan yang pro lingkungan dan pro dengan kepentingan warga sepenuhnya bukan kepentingan perorangan atau kelompok.
Tidak sedikit alternatif kebijakan yang pro lingkungan tanpa menggadaikan lingkungan alam. Pendapatan yang berkelanjutan, tanpa merusak alam. Misalnya; di beberapa daerah telah berkembang seperti hasil hutan tanpa merusak hutan, wisata alam, pertanian yang ramah lingkungan dan masih banyak contoh lainnya. Tentu, pemerintah dan semua pihak memikirkan hal ini, akan tetapi ya, harus didukung sepenuhnya oleh kebijakan-kebijakan dari pemimpin daerah.
Kebijakan untuk membatasi atau tidak lagi mengeluarkan ijin baru jika itu perluasan area dan kebijakan yang tidak tebang pilih terkait pelanggar pelaku kejahatan.