Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Haruskah yang Tersisa Hanya Sebuah Foto atau Cerita?

8 Februari 2017   16:21 Diperbarui: 8 Februari 2017   16:37 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto capture dari poster satwa dilindungi, BKSDA KALBAR

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, ragam kekayaan alam berupa flora dan fauna (mega biodiversitas) tidak bisa disangkal menjadikan Indonesia dikenal luas hingga ke penjuru negeri lainnya. Namun, hal ini jika boleh dikata dari tahun ke tahun seolah keberagaman biodiversitas di muka bumi kian menyusut menjelang punah akibat berbagai sebab ataupun juga akibat.

Terlebih, keanekaragaman biodiversitas tersebut memiliki arti begitu penting bagi keberlanjutan dan ilmu pengetahuan ditengah semakin gencarnya penggerusan baik di daratan atau di lautan yang terkait segenap nasib makhluk hiup hingga nanti apakah masih boleh berlanjut atau hanya tinggal cerita belaka dan hanya tersisa hanya sebuah foto dan tinggal cerita?.

Foto capture dari poster satwa dilindungi, BKSDA KALBAR
Foto capture dari poster satwa dilindungi, BKSDA KALBAR
Habitat hidup seluruh makhluk berupa hutan bersama beragam biodiversitas (flora dan fauna) seperti tumbuhan dan satwa menjadi yang sangat memprihatinkan nasib dan keberadaannya saat ini. Sementara kita bersama satwa dan tumbuhan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan serta saling membutuhkan.Tidak hanya khawatir namun juga sedih melihat fakta yang tersaji dalam peristiwa yang acap kali mendera nasib satwa dan tumbuhan tidak terkecuali pula kita manusia. Bahkan laju kerusakan hutan di Indonesia disebutkan mengalahkan Brazil. Dengan kata lain, hutan Indonesia merupakan negara yang paling parah kerusakan hutannya.

Berdasarkan data WWF menyebutkan; Sejak  tahun 2009 hingga 2013, luasan hutan Indonesia yang hilang mencapai 4,6 juta hektar. Atau dengan kata lain, hutan Indonesia memiliki luas sekitar 130 juta hektar dari 180 juta hektar luas Indonesia. Yang sudah di moratorium seluas 64 juta hektar dan sekitar 40 % dalam keadaan baik. Sedangkan hutan Indonesia yang telah rusak kurang lebih 60 %, (Sumber data, dari Dinas Kehutanan).

Hutan Rebah tak berdaya. Foto dok. Yayasan Palung
Hutan Rebah tak berdaya. Foto dok. Yayasan Palung
Kerusakan hutan yang terjadi banyak sebab selain terjadinya kebakaran, pembukaan ataupun perluasan lahan berskala besar untuk perkebunan, pembalakan liar (ilegal logging) ataupun juga pembangunan. Selain itu, pertambangan ditenggarai menjadi dalang dari hilangnya sebagian besar hutan di Indonesia. Hilangnya sebagian besar hamparan hutan menjadi persoalan lain bagi tatanan kehidupan makhluk hidup terutama satwa dan tumbuh-tumbuhan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam rantai makanan. Menurut National Geographic, sekitar 70% tanaman dan hewan hidup di hutan dan deforestasi juga berdampak pada hilangnya habitat berbagai jenis spesies yang tinggal di dalam hutan.  Hilangnya luasan tutupan hutan tidak jarang pula berdampak pada perubahan iklim dengan ditandai dengan cuaca yang sulit ditebak. Selain juga beberapa dampak yang disebabkan alam seperti banjir, banjir bandang dan tanah longsor.  

Hal lain yang tidak kalah hebatnya terjadi selain hilangnya habitat hidupnya satwa dan tumbuh-tumbuhan  acap kali menjadi komoditi yang tidak jarang pula diperjual belikan (diperdagangkan) secara masif di pasar gelap/ilegal. Maraknya perdagangan satwa dilindungi juga memperparah keadaan yang cenderung mempengaruhi beberapa orang (oknum) masyarakat untuk berburu satwa dilindungi dengan harapan memperoleh imbalan dari hasil jual beli satwa dilindungi. Padahal sudah jelas-jelas Undang-undang no 5 tahun 1990, tentang konservasi Sumberdaya  Alam dan Ekosistemnya, sebagaimana tertuang melarang; membunuh, melukai, memilihara dan memperjualbelikan. Apabila melanggar dikenai sanksi pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.

Beberapa boneka satwa seperti orangutan, bekantan, kelasi, kelempiau yang biasa digunakan dalam puppet show saat kunjungan ke sekolah untuk pendidikan lingkungan kepada siswa. Foto dok. Yayasan Palung
Beberapa boneka satwa seperti orangutan, bekantan, kelasi, kelempiau yang biasa digunakan dalam puppet show saat kunjungan ke sekolah untuk pendidikan lingkungan kepada siswa. Foto dok. Yayasan Palung
Adapun satwa dilindungi yang selalu menjadi korban (menjadi ancaman nyata kepunahan) seperti orangutan dalam tingkatan menghawatirkan keadaannya dialamnya (habitat hidupnya) berupa hutan yang masih baik kian hari semakin berkurang jumlahnya. Hal yang sama juga terjadi pada satwa lainnya seperti kelasi, kelempiau, kelasi dan trenggiling yang sisiknya selalu dinanti pemburu. Tidak terkecuali bekantan yang merupakan satwa (primata/hewan) yang hanya hidup di pesisir sungai. Yang lebih parahnya lagi adalah nasib burung enggang. Dimana paruhnya sepanjang tahun selalu diperjualbelikan seolah tidak berhenti terjadi dan semakin marak. Demikian juga terjadi pada gajah yang kerap diburu untuk diambil gadingnya atau badak yang culanya dan harimau diambil kulitnya yang selalu dinanti pemburu. Saat ini, bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan sebanyak 25 satwa prioritas yang harus dilindungi pada 2016. Selain harus dijaga kelestariannya, puluhan satwa ini juga akan ditingkatkan populasinya. Tentunya bukan tanpa alasan, berharap satwa dilindungi dapat diselamatkan dari ancaman kepunahan.

25 Satwa langka prioritas. Capture data KLHK dari Republika
25 Satwa langka prioritas. Capture data KLHK dari Republika
Puppet Show bertutur tentang orangutan dan habitatnya di SDN 10 Nipah Kuning, Simpang Hilir, KKU beberapa waktu lalu. Foto dok. Yayasan Palung
Puppet Show bertutur tentang orangutan dan habitatnya di SDN 10 Nipah Kuning, Simpang Hilir, KKU beberapa waktu lalu. Foto dok. Yayasan Palung
Menurut Mariamah Achmad, selaku penggiat lingkungan dan juga Manager Pendidikan Lingkungan dan Media Kampanye dari Yayasan Palung mengatakan;  “keberadaan satwa liar di hutan tropis kita adalah kekayaan alam yang harus kita jaga dan lestarikan. Kita harus semakin bijak dalam memperlakukan mereka karena semakin terdesaknya populasi mereka di alam liar, biarkan mereka hidup dengan nyaman di habitat mereka, dan jaga habitat mereka yang tersisa”. Lebih lanjut menurut Mayi, sapaan akrabnya sehari-hari menambahkan, Selain itu pemerintah harus menegakkan peraturan perlindungan satwa liar ini, dan masyarakat juga dapat membantu dengan melaporkan kejahatan terhadap satwa liar terutama satwa yang dilindungi di sekitar mereka kepada BKSDA, Kepolisian maupun organisasi seperti Yayasan Palung.

Semangat dan keceriaan anak-anak membaca buku tentang lingkungan dan satwa. Foto dok. Yayasan Palung
Semangat dan keceriaan anak-anak membaca buku tentang lingkungan dan satwa. Foto dok. Yayasan Palung
Kepedulian, perhatian, kebijaksanaan dan tindakan nyata dari kita semua serta penyadartahuan, pendidikan lingkungan kepada masyarakat menjadi satu kesatuan yang harus dilaksanakan. Apabila tidak hutan dan satwa hampir dipastikan menjadi cerita dan hanya tahu lewat dongeng serta foto semata. Semoga hutan, tumbuhan dan satwa dapat menjadi satu kesatuan yang utuh untuk saling hidup berdapingan dan manusia dapat bijaksana memperlakukan alam semesta beserta segala isinya.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun