Waktu kian berputar, malam pun semakin malam.
 Kandas dan terpenjara karena rinai rintik  tanpa berhenti menetes.
Malam tak jua bertanya atau menyela apa salah rinai turun kian deras.
Detik demi detik, demikian pula waktu berikutnya rinai semakin ramai.
Kandas, terpenjara dalam diam,
Tak berani melawan lajunya derasnya sama ketika cacing di kampung tengah sedang konser.
Mereka tak sabar berjoget-joget sambil berpesta, meloncat dan bersuara keras.
Sesekali terdiam, kemudian bersuara kembali semakin nyaring terdengar.
Teguk demi teguk air putih dibasahi ditenggorokan untuk meredam ganasnya konser bala cacing.
Memaksa pulang takut keburu masuk kapal.
Hanya terdiam sembari menyusun kata demi kata untuk melawan juga bercerita tentang rasa lapar yang kian mendera karena rinai rintik seolah enggan mereda,
 ketika takut maag akan tiba menyapa.
Tetapi, rinai rintik itu di alam raya sebagai obat pelepas dahaga juga nafas segala bernyawa.
Hanya bisa menunggu hingga berhenti menetes sebari bersabar.
Puisi ketika lapar mendera tidak bisa melawan karena rinai rintik yang tak kunjung berhenti menetes. :)Â
Arti : Masuk kapal (plesetan untuk masuk angin), Rinai rintik (hujan), Kampung tengah (perut) Â
Ketapang, Kalbar 26/10/2016
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H